Analisis :
Proses Komunikasi Politik Antara
Indonesia Dengan Australia
TUGAS
Makalah Ini Di Susun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Komunikasi
Politik
Oleh
Armadiana Putri (120240019)
Ilmu Komunikasi
FAKULTAS ILMU
SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS MALIKUSSALEH
ACEH UTARA
2013/2014
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kita panjatkan kepada Allah swt, yang telah melimpahkan
rahmat, hidayah dan karunia-Nya. Tak lupa pula salawat salam saya sanjung
sajikan ke pangkuan Nabi Besar Muhammad saw, sehingga saya dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul “Proses
komunikasi politik antara Indonesia dengan Australia”.
Makalah ini saya susun berdasarkan
sumber-sumber informasi yang mendukung sehingga dapat saya rangkum sedemikian
rupa, agar lebih mudah dipahami oleh pembaca, maka makalah ini lebih banyak
berisi poin-poin penting.
Saya mengucapkan banyak terima kasih
atas peran serta berbagai pihak yang telah membantu penyelesaian makalah ini.
Saya menyadari akan adanya berbagai kekurangan dan berharap adanya kritikan dan
saran dari pembaca demi kesempurnaan hasil kerja saya dimasa yang akan datang.
Lhokseumawe,
3
Desember 2013
Hormat
saya,
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................................................. i
DAFTAR ISI .................................................................................. ii
BAB I
PENDAHULUAN................................................................................ 1
1.1.
Latar belakang …............................................................................. 1
1.2.
Rumusan masalah….............................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN................................................................................ 2
2.1. Kasus
Penyadapan Di Indonesia……………………………... ………..
2
2.2. Isu
Sensitif …………………………………………… ……...
2
2.3. Masalah
Serius Bagi Indonesia ……………………...…………………
3
2.4. Dilema
Indonesia …….……………………………………………… 4
2.5.
Re-orientasi Kebijakan Australia …………….…………………………. 5
2.6. Perubahan
Kebijakan Penanganan Imigran Ilegal ………….. ……………6
2.7. Reaksi
Pemerintah atas Kasus Penyadap..……………………. …………..7
2.8.
Penyadapan = Perubahan Kebijakan Penanganan Imigran Ilegal ………… 8
BAB III PENUTUP ……..…………………………………………….… 9
3.1.
Kesimpulan ………………………………………………………
9
3.2. Saran ……………………………………………………… 9
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………….. 10
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar belakang
Kasus penyadapan
yang dilakukan oleh Australia kini telah menjadi diskursus hangat baik itu oleh
media, pemerintahan, akademisi, bahkan masyarakat. Beragam aksi protes dan
kontra terhadap sikap australia telah dilontarkan oleh pemerintah kita.
Walaupun terkesan lamban dan cenderung kurang reaktif atas kejadiaan ini,
setidaknya dapat menjadi jawaban bahwa Indonesia tidak berdiam diri dan
menegaskan bahwa Indonesia bukanlah negara yang dapat diremehkan.
Penyadapan dalam
dunia intelijen, sejatinya bukanlah perkara yang krusial. Penyadapan kerap
dilakukan oleh berbagai negara dalam rangka menghimpun informasi guna mencari
tahu kelemahan negara (lawan) lain, ataupun memperkuat sistem keamanan negara
yang bersangkutan. Penyadapan merupakan hal yang lumrah. Tapi menjadi hal yang
aneh apabila, penyadapan dilakukan oleh negara yang dalam setiap forum
internasional menyatakan dirinya (Australia) sebagai negara sahabat dari
Indonesia.
1.2.Rumusan masalah
Dari uraian
latar belakang yang dijabarkan diatas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut
: “Merumuskan masalah kasus penyadapan yang terjadi di Indonesia”.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Kasus Penyadapan Di Indonesia
Kasus penyadapan
yang dilakukan oleh Australia kini telah menjadi diskursus hangat baik itu oleh
media, pemerintahan, akademisi, bahkan masyarakat. Beragam aksi protes dan
kontra terhadap sikap australia telah dilontarkan oleh pemerintah kita.
Walaupun terkesan lamban dan cenderung kurang reaktif atas kejadiaan ini,
setidaknya dapat menjadi jawaban bahwa Indonesia tidak berdiam diri dan
menegaskan bahwa Indonesia bukanlah negara yang dapat diremehkan.
Penyadapan dalam
dunia intelijen, sejatinya bukanlah perkara yang krusial. Penyadapan kerap
dilakukan oleh berbagai negara dalam rangka menghimpun informasi guna mencari
tahu kelemahan negara (lawan) lain, ataupun memperkuat sistem keamanan negara
yang bersangkutan. Penyadapan merupakan hal yang lumrah. Tapi menjadi hal yang
aneh apabila, penyadapan dilakukan oleh negara yang dalam setiap forum
internasional menyatakan dirinya (Australia) sebagai negara sahabat dari
Indonesia. Lantas apakah ini hanya lip service balaka?
Dalam beberapa
kesempatan, Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) beserta Menteri Luar
Negeri, Marti Natalegawa, telah menyampaikan beberapa kekecewaannya terhadap
kasus ini. Mereka berpendapat bahwa Australia bukanlah tetangga yang baik.
Australia yang kita nilai sebagai negara sahabat, ternyata malah mengkhianati.
Sungguh telah menciderai nilai demokrasi yang telah disepakati bersama.
Hal ini semakin
diperparah dengan pernyataan Perdana Menteri Australia, Tony Abbot, yang
menyatakan tidak dan tidak akan pernah meminta maaf kepada Indonesia atas
insiden ini. Sungguh menjadi pukulan telak bagi Indonesia. Sejatinya, isu
penyadapan yang dilakukan oleh Australia terhadap petinggi negara ini pada
tahun 2009, dapat dijadikan sebagai momentum untuk meninjau kembali semua kerja
sama yang telah dilakukan bersama Australia, baik itu dalam bidang ekonomi,
politik, sosial,ataupun militer.
2.2. Isu
Sensitif
Dalam tulisan
ini saya tidak akan banyak membahas soal penyadapan dan isu lainnya. Sudah
cukup banyak media yang mengupas hal itu. Namun, dari sekian banyak berita
terkait dengan sikap kontra Indonesia terhadap penyadapan yang dilakukan
Australia, tidak ada yang menyinggung soal sikap pemerintah Indonesia dan
Australia dalam menangani kebijakan imigran ilegal. Padahal isu sensitif ini
dapat menjadi bagian dari posisi tawar Indonesia terhadap Australia, mengingat
Indonesia merupakan negara transit bagi pencari suaka (asylum seeker)
ataupun pengungsi (refugee) yang hendak ke Australia sebagai negara
tujuan.
Masalah
penanganan imigran ilegal merupakan masalah besar baik itu bagi Australia
ataupun Indonesia sendiri. Kita ketahui bersama bahwa Indonesia sampai saat ini
belum meratifikasi Konvensi 1951 dan Protokol 1967 terkait masalah pengungsi,
sehingga konsekuensi yuridisnya, Indonesia tidak memiliki kewajiban apapun
terhadap penanganan imigran ilegal, baik itu pengungsi ataupun pencari suaka.
Oleh karenanya, dalam menangani kasus pencari suaka dan pengungsi, pemerintah
Indonesia meminta bantuan kepada Organisasi Urusan Pengungsi PBB, yaitu United
Nations High Commisioner for Refugees(UNHCR) dan International
Organization of Migration (IOM). Lain halnya dengan Australia yang
telah meratifikasi aturan ini, sehingga mereka terikat untuk melaksanakan
kewajiban tersebut.
Sebagai negara
yang memiliki letak geografis yang sangat strategis, maka Indonesia kerap
“disinggahi” oleh para pencari suaka ataupun pengungsi untuk bermigrasi ke
Australia. Mereka yang hendak menuju ke Australia sebagai negara tujuan, tentu
harus melewati Indonesia. Di antara mereka mayoritas berasal dari negara
konflik (bagian afrika, ataupun asia selatan). Sehingga tidak heran apabila
Indonesia dipandang sebagai negara yang ramah terhadap masuknya imigran.
2.3. Masalah
Serius Bagi Indonesia
Indonesia dan
Australia tentu sadar akan hal ini. Selain Australia yang menyimpan masalah
terhadap datangnya arus imigran ilegal ini, Indonesia pun juga menghadapi hal
yang sama. Sebagai contoh, fenomena yang terjadi sekitar tahun 1979, saat
Indonesia kedatangan ratusan ribu pengungsi dari Vietnam, Laos, yang
meninggalkan negara mereka akibat konflik bersenjata. Sampai kini, masalah
migrasi di wilayah Indonesia ternyata masih terus berlanjut. Ribuan orang dari
berbagai negara konflik terus masuk ke wilayah Indonesia, baik secara legal
maupun ilegal, melalui darat, laut, maupun udara dengan menyatakan diri sebagai
pencari suaka.
Berdasarkan data
intersepsi bulan Agustus 2013, ada 38 kasus ditemukan diberbagai wilayah
Indonesia dengan total 958 orang. Jumlah tersebut tentu menambah angka yang
sudah ada saat ini berkisar 3.800 orang, baik itu yang ditempatkan di Rumah
Detensi Imigrasi maupun tempat-tempat penampungan yang telah ditetapkan oleh
Direktorat Jenderal Imigrasi (Ditjen Imigrasi). Angka tersebut bukanlah angka
pasti, sebab masih ada banyak imigran ilegal yang luput dari pengawasan Ditjen
Imigrasi. Mereka tinggal menyebar dengan menyewa rumah-rumah warga atau tinggal
di hotel bahkan apartemen di beberapa kota di Indonesia.
Berdasarkan
pemberitaan dari detik.com, gelombang kedatangan imigran ke
Indonesia masih berlanjut sampai sekarang. Kali ini di kecamatan Cibalong,
Garut. Sebanyak 106 imigran etnis Rohingya yang berasal dari negara Myanmar terpergok
dan diamankan oleh pihak kepolisian pada hari minggu (17/11/2013). Para imigran
yang terdiri dari 67 pria, 16 wanita, dan 20 anak-anak, diduga hendak
menyebrang ke Australia. Kini mereka semua telah diserahkan ke Kantor Imigrasi
Kelas II Tasikmalaya untuk dikembalikan ke negara asalnya.
Sudah sejak
lama, Indonesia menghadapi masalah dengan orang-orang asing yang mengaku
sebagai pencari suaka, untuk diproses statusnya sebagai pengungsi. Meski bukan
sebagai negara tujuan, Indonesia sering dipakai sebagai negara transit karena
posisi geografis Indonesia berada pada jalur menuju perlintasan negara tujuan
suaka, yaitu Australia. Dari Indonesia, mereka berniat masuk ke negara tujuan
suaka, rata-rara mereka berniat ke Australia, baik secara legal ataupun ilegal,
dengan menggunakan status pengungsi yang dikeluarkan oleh UNHCR mewakili
pemerintah Indonesia.
Kedatangan para
imigran ilegal ke wilayah Indonesia ini jumlahnya terus meningkat, sehingga
mulai menimbulkan kekhawatiran dan ketidaknyamanan serta berpeluang menimbulkan
gangguan sosial, kemanan politik, bahkan ketertiban di masyarakat. Jumlah
kedatangan mereka tidak sebanding dengan angka penyelesaian atau penempatan ke
negara penerima (Australia), termasuk yang dipulangkan secara sukarela dan
dideportasi dari wilayah Indonesia. Keberadaan mereka sangat rentan baik dari
sisi status, ekonomi, serta psikologis sehingga berpeluang dimanfaatkan oleh
jaringan penyelundupan manusia, perdagangan orang narkoba, serta kegiatan
kriminal lain termasuk jaringan terorisme internasional. Hal ini bisa
menimbulkan dampak serta berbagai masalah di Indonesia.
Fenomena atas
penolakan sebagian warga Bogor terhadap keberadaan para imigran yang tinggal di
sekitar Cisarua, Bogor, konon berawal dari ketidaknyamanan warga yang mulai
terganggu dengan keberadaan para imigran menurut masyarakat setempat, perilaku
imigran semakin seenaknya, bahkan mulai mengabaikan masalah hukum di Indonesia.
Masalah imigran
ilegal di Indonesia tidak hanya berhenti pada titik ini. Masalah biaya hidup
dan tempat tinggal para imigran ilegal juga menjadi sorotan. Para pencari
suaka mendapat tunjangan biaya hidup sekitar 1,2 juta rupiah per orang, per
bulan. Bila satu keluarga terdiri dari sepasang suami-istri dengan dua orang
anak, maka dalam satu bulan mereka bisa mendapatkan sekitar 4,8 juta rupiah.
Dalam “Forum
Komunikasi Antar Instansi di Wilayah Kota Depok dalam Rangka Imigran Gelap dan
Pencari Suaka di Indonesia”, yang diselenggarakan oleh Kantor Imigrasi Kelas II
Depok di Hotel Mirah, Bogor tanggal 12 September 2013, salah satu perwakilan
dari kecamatan di Kabupaten Bogor menanyakan keberadaan serta status dana biaya
hidup para imigran tersebut. Di tengah antrian berdesakan warga masyarakat
mengambil dana BLSM yang (hanya) sekitar 150 ribu rupiah, maka biaya hidup para
imigran itu menjadi sangat mewah dan “menggiurkan”. Ada kecurigaan dari pihak
kecamatan bahwa dana tersebut berasal dari dana pemerintah Indonesia.
Mengutip
pernyataan dari Yusril Ihza Mahendra dalam kicauan twitternya hari selasa
kemarin (19/11/2013), bahwa penanganan imigran ilegal harus diperhatikan secara
proposial mengingat, masih banyak warga Indonesia sendiri yang kehidupan
ekonominya belum layak. “Padahal rakyat kita sendiri saja miskin, kok masih
harus menahan dan menampung begitu banyak imigran asing yang mau ke Australia”,
tegas Yusril.
2.4. Dilema
Indonesia
Dalam Pasal 8
ayat (2) UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian (yang sebelumnya menggantikan
UU No. 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian), telah menentukan bahwa setiap orang asing
yang masuk dan keluar wilayah Indonesia wajib memiliki Visa yang sah dan masih
berlaku, kecuali ditentukan lain berdasarkan Undang-Undang ini dan perjanjian
internasional. Pasal 9 juga menegaskan bahwa setiap orang yang masuk atau
keluar wilayah Indonesia wajib melalui pemeriksaan yang dilakukan oleh Pejabat
Imigrasi di Tempat Pemeriksaan Imigrasi. Ketentuan selengkapnya dapat dibaca
pada Bab III UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian.
Atas dasar hukum
inilah, maka setiap imigran masuk wilayah Indonesia tidak berdasarkan aturan
dimaksud, maka disebut sebagai imigran ilegal, sehingga dapat dikenakan sanksi
pidana. Dalam Pasal 113 UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian disebutkan
bahwa setiap orang yang dengan sengaja masuk atau keluar wilayah Indonesia yang
tidak melalui pemeriksaan oleh Pejabat Imigrasi di Tempat Pemeriksaan Imigrasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana paling banyak Rp. 100.000.000,00
(seratus juta rupiah). Namun dalam das sein(kenyataan) nya,
perlakuan akan berbeda ketika pihak Imigrasi Indonesia berhadapan dengan
pencari suaka dan pengungsi yang dalam perjalananya hendak ke negara tujuan,
yaitu Australia. Apalagi Indonesia sejauh ini belum meratifikasi Konvensi 1951
dan Protokol 1967 tentang Pengungsi, sehingga Indonesia tidak memiliki
kewajiban apapun terkait dengan keberadaan imigran ilegal ini.
Namun, dengan
mengatasnamakan alasan kemanusiaan dan HAM, maka Indonesia seolah terikat akan
kewajiban itu. Belum lagi dengan adanya IOM (yang disinyalir merupakan
organisasi buatan Australia untuk “menampung” imigran ilegal di Indonesia yang
hendak ke Australia), semakin membuat posisi Indonesia menjadi sulit. Adanya
beberapa instrumen hukum yang mengatur soal penanganan imigran ilegal, tentu
membuat keadaan semakin serba dilematis. Sebut saja, Perdirjenim
No.IMI-1489.UM.08.05 Tahun 2010 tentang Penanganan Imigran Ilegal, TAP MPR
No.XVII/MPR/1998 yang berisikan Piagam Hak Asasi Manusia, UUD 1945 (Amandemen) yang
berorientasi pada HAM, UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asas iManusia, UU No.
37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri, UU No. 1 Tahun 1979 tentang
Ekstradisi, dan juga diratifikasinya 7 dari 8 International Human Right
Treaties, antara lain:CEDAW (Convention on the Elimination of All Forms
of Discrimination Against Women), CRC (Convention on the Rights of the Child),
ICCPR (International Convenant on Civil and Political Rights), ICESCR
(International Convenant on Economic, Social, and Cultural Rights), CAT
(Convenant Against Torture), (ICERD (International Convention on the
Elimination of All Forms of Racial Discrimination), dan CRPD (Convention on the
Rights of Persons with Disability). Instrumen hukum baik nasional dan
internasional itu, tentu menjadi suatu dilema yang berat bagi Indonesia, dalam
penanganan imigran ilegal. Padahal telah jelas, bahwa dalam UU No. 6 Tahun 2011
tentang Keimigrasian dan tidak diratifkasnya Konvensi 1951 dan Protokol 1967,
membuat Indonesia dalam posisi tidak ada kewajiban terhadap penanganan imigran
ilegal.
2.5.
Re-orientasi Kebijakan Australia
Masalah imigran
ilegal juga menjadi permasalahan besar bagi Australia yang kerap menjadi negara
tujuan. Banyak alasan orang bermigrasi ke Australia, namun rata-rata mereka
datang ke Australia untuk memperoleh masa depan yang lebih baik bagi dirinya
keluarga, juga bagi keturunannya. Dengan beragam bangsa dan banyak kebudayaan
yang berbeda. Australia kemudian tumbuh sebagai negara multikulturalisme,
negeri dengan banyak kebudayaan. Ada toleransi terhadap kebudayaan dan bangsa
yang berlainan, karena hukum Australia melindungi orang dari diskriminasi ras.
Menurut Biro
Statistik Australia, penduduk Australia pada hari selasa tanggal 23 April 2013
akan menjadi 23 juta jiwa. Australia mencatat tingkat pertumbuhan penduduk
sekitar 1,7 persen. Berarti, setiap hari penduduk Australia bertambah sekitar
1.048 jiwa. Bagi negara maju, pertumbuhan penduduk Australia termasuk tinggi,
bahkan lebih tinggi dari India yang memiliki pertumbuhan penduduk sekitar 1,4
persen.
Namun menurut
ahli kependudukan Australia, pertumbuhan penduduk Australia bukan dipicu oleh
angka kelahiran, melainkan karena migrasi penduduk yang datang ke Australia.
Diperkirakan migrasi telah menyokong pertumbuhan penduduk sekitar 60 persen,
sedang proprosi kelahiran justru menurun dari 60 persen menjadi 40 persen.
Kedatangan para
imigran ke Australia dalam jumlah besar kini mulai dirasakan mengganggu oleh
pemerintah Australia. Menurut Australian Department of Immigration and
Citizenship, otoritas yang berwenang mengurusi soal keimigrasian dan
kewarganegaraan di Australia, dalam 4 tahun terakhir terjadi peningkatan
pencari suaka yang kebanyakan datang dengan perahu melalui perairan dari
wilayah Indonesia. Pada tahun 2010 ada sebanyak 6.535 orang, tahun 2011
sekitar 4.565 orang, tahun 2012 melonjak menjadi 17.202 orang dan sampai dengan
Juli tahun 2013, sudah mencapai 15.182 orang.
Tony Abbot,
Perdana Menteri Australia, sempat menggunakan isu sensitif ini dalam
kampanyenya dalam pemilihan Perdana Menteri Australia yang baru. Dia berjanji
untuk menerapkan kebijakan baru, yaitu “perang melawan penyelundupan manusia”
ke wilayah Australia. Selain itu, Tony Abbot juga akan menerapkan visa
sementara, bukan izin menetap, bagi para imigran yang telah diproses menjadi
pengungsi. Visa tersebut berlaku selama tiga tahun dan akan dicabut bila sudah
tidak sesuai lagi.
Atas dasar
inilah, maka Australia merubah kebijakannya dalam menghadapi persoalan para
imigran. Namun, kebijakan Australia terhadap imigran ilegal ini tentunya
berbeda dengan beberapa tahun bahkan puluhan tahun yang lalu, disaat Australia
masih membutuhkan invansi penduduk dalam jumlah yang besar. Australia kini
sangat selektif bahkan terkesan membatasi masuknya para imigran, baik itu secara
legal ataupun ilegal. Belum lagi terkait dengan kebijakan bagi setiap pencari
suaka yang masuk dan telah berada di Australia, yang akan dialihkan langsung ke
negara ketiga, yaitu Papua Nugini. Kebijakan ini tentu akan merugikan Indonesia
sebagai negara transit bagi mereka yang sedari awal hendak ke negara
tujuan, yaitu Australia.
2.6. Perubahan
Kebijakan Penanganan Imigran Ilegal
Dalam konteks
ini, tentu benang merahnya adalah Australia sangat berkepentingan terhadap
Indonesia. Indonesia dipandang sebagai negara pertama yang dapat menahan
masuknya arus imigran ilegal yang tidak diharapkan oleh Australia. Australia
menganggap Indonesia memilii peran strategis, untuk menangkal para imigran
ilegal masuk ke wilayah Australia. Tidak sedikit dari mereka berlayar
menggunakan perahu (sehingga ada sebutan “manusia perahu”) untuk berlayar
menuju ke Australia sebagai negara tujuan akhir. Mereka menganggap Australia
sebagai negara yang dapat menjanjikan kebahagiaan hidup, yang tidak mereka
dapat di negara mereka sebelumnya.
Baru-baru ini
Pemerintah Australia mengeluarkan kebijakan baru terkait masalah pencari suaka
yang masuk negaranya. Australia melibatkan Pemerintah Papua Nugini dalam sebuah
kesepakatan bersama yang ditanda tangani tanggal 19 Juli 2013. Kebijakan tersebut
memuat bahwa pencari suaka yang tiba di Australia dengan mengguakan perahu,
akan langsung dikirim ke Papua Nugini, sebagai negara ketiga. Mereka akan
diproses untuk ditempatkan (secara permanen) di Papua Nugini, bukan di
Australia. Kebijakan tersebut dibuat, untuk menghambat tindak kejahatan
penyelundupan manusia ke Australia, terutama oleh pencari suaka yang datang di
pantai-pantai Australia dengan memakai perahu.
Hal ini tentu
berpengaruh terhadap situasi di Indonesia. Para imigran yang semula merencakan
masuk ke Australia menggunakan perahu ada kemungkinan membatalkan niat mereka.
Syukur bila mau dipulangkan kembali ke negara mereka secara suka rela. Namun
bagaimana jika mereka “berminat tinggal” di Indonesia? Atau mereka akan
menempuh jalur legal lewat UNHCR, dengan menunggu status sebagai pengungsi yang
minimal memakan waktu 2 tahun?
Lalu bagaimana
bila setelah mendapat status sebagai pengungsi, UNHCR menempatkan mereka ke
negara ketiga tidak ke Australia? Apakah kebijakan pemerintah Australia menolak
pencari suaka perahu merupakan kebijakan final atau pemerintah Australia masih
bisa menerima pengungsi atas rekomendasi dari UNHCR? Bagi Indonesia apakah ini
bukan sebuah “bom waktu”?
Kini, penanganan
imigran ilegal kembali menjadi isu yang hangat antara Indonesia dan Australia
setelah ada puluhan imigran yang diselamatkan oleh pihak Australia di perairan
perbatasan Indonesia dan Australia. Otoritas imigrasi Australia meminta
Indonesia menampung para imigran tersebut karena diklaim ditangkap di wilayah
perairan Indonesia. Namun, Indonesia menolak dengan alasan ekonomi dan sosial.
Ada temuan yang berkembang bahwa para imigran itu memang sengaja digiring oleh
pihak Australia untuk masuk ke perairan Indonesia. Kejadian ini menjadi sinyal
bahwa sejatinya Australia telah merubah orientasinya dalam penangananan para
imigran. Tentu ini akan berdampak buruk pada hubungan diplomatik antara
Indonesia dan Australia, yang kini diperparah dengan berkembangnya kasus
penyadapan.
2.7. Reaksi
Pemerintah atas Kasus Penyadapan
Dari sekian
banyak reaksi kontra pemerintah soal penyadapan yang dilakukan Australia
terhadap Indonesia, yang membuat saya tertarik adalah pernyataan Presiden SBY
dalam pidatonya yang menyikapi soal penanganan imigran ilegal dan penyelundupan
manusia (people smugling). Dalam pidatonya tersebut, Presiden SBY
menyatakan akan meninjau kembali (review) beberapa perjanjian kerja sama
strategis dengan Australia. Berikut isi pidato Presiden SBY dalam point 2
terkait dengan peninjauan kembali beberapa kerjasama strategis dengan
Australia: “....Saya juga minta dihentikan sementara yang disebut dengancoordinated
military operations. Saudara tahu bahwa menghadapi permasalahan
bersama people smugling yang merepotkan Indonesia dan
Australia, kita punya kerjasama yang disebut coordinated military
operations. Coordinated control di wilayah lautan. Ini
saya meminta dihentikan dulu, sampai semuanya jelas. Tidak mungkin kita
melanjutkan semuanya itu kalau kita tidak yakin tidak ada penyadapan terhadap
tentara Indonesia, terhadap kita yang secara bersama-sama justru mengemban
tugas untuk kepentingan kedua negara....”
Menyitir
pernyataan Burhanuddin Muhtadi (Peneliti LSI) dalam acara “Gesture” di tvOne
tadi malam (21/11/2013) yang menyatakan bahwa Australia kini dalam posisi yang
sulit apabila Indonesia memutuskan perjanjian kerja sama soal penanganan
imigran ilegal dan people smugling. “Australia sebenarnya dalam
posisi yang sulit. Akan menjadi sebuah bencana bagi Australia, apabila
Indonesia menghentikan perjanjian bilateral dengan Australia soal people
smugling. Belum lagi soal imigran ilegal. Padahal penegakan hukum terkait
dengan kedua kasus itu adalah “jualannya” Tony Abbot dalam kampanyenya dalam
pemilihanPerdana Menteri Australia kemarin”, tegas Burhanuddin. Menurut saya,
apabila ini terbukti terjadi, maka akan menjadi persoalan serius bagi Australia
ke depannya.
2.8.
Penyadapan = Perubahan Kebijakan Penanganan Imigran Ilegal
Tentu hal ini
akan menjadi masalah krusial bagi Indonesia, mengingat Indonesia sendiri tidak
memiliki kewajiban apapun dalam menangani masalah imigran ilegal. Oleh
karenanya, terkait dengan adanya kasus penyadapan yang dilakukan oleh pihak
Australia terhadap pejabat di pemerintahan Indonesia, harus dijadikan momentum
bagi Indonesia sendiri untuk meninjau kembali kebijakan penanganan para imigran
ilegal. Kiranya ini dapat menjadi momentum yang pas bagi pemerintah Indonesia
untuk menaikkan nilai dan posisi tawar (bargaining position) terhadap
Australia yang hingga kini belum memberikan reaksi serius ataupun pernyataan
permintaan maaf atas adanya kasus penyadapan tersebut.
Indonesia harus
jeli memanfaatkan situasi ini. Australia tentu sangat berkepentingan dengan
Indonesia. Ditambah lagi adanya kasus penyadapan, yang semakin membuat
Australia dalam posisi sulit. Setidaknya apabila memang diperlukan, Indonesia
dapat mengancam pihak Australia dengan skeneario bahwa setiap pencari suaka dan
pengungsi yang masuk dan berada di Indonesia, akan langsung dikirim ke
Australia. Tentu hal ini tidak diinginkan oleh Australia mengingat akan
berdampak luas pada eksistensi Australia sebagai negara yang meratifikasi
Konvensi 1951 dan protokol 1967 tentang pengungsi. Oleh karenanya pembahasan
ini menjadi penting bagi Indonesia dalam menyikapi kasus penyadapan, setidaknya
menjadi alternatif ancaman bagi Australia yang bersikap arogan terhadap
Indonesia.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Ada
3 (tiga) hal yang Indonesia akan lakukan kedepan ini, yaitu :
- Di
hari-hari mendatang ini Indonesia tetap menunggu penjelasan dan
pertanggungjawaban Australia atas kasus penyadapan itu.
- Di hentikan
dulu, kerjasama yang disebut pertukaran informasi dan pertukaran intelijen
(intelligence exchange)dan information sharing diantara
kedua Negara
- Kita tempuh
sekali lagi sambil menunggu apa yang akan disampaikan oleh pemerintah
Australia
3.2. Saran
Rakyat
Indonesia kesal dan marah terhadap apa yang dilakukan oleh pihak-pihak
Australia kepada Indonesia, kepada negara kita. Namun demikian, dalam hubungan
antarbangsa, di dalam menghadapi situasi tertentu, tentu tidak boleh kita
terlalu emosional dan mesti tetap rasional. Karena apa yang kita tempuh dan
lakukan menyusul terjadinya kegiatan penyadapan ini akan menentukan masa depan
hubungan Indonesia-Australia dan menentukan persahabatan di antara bangsa
Indonesia dan bangsa Australia yang sesungguhnya terjalin dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar