Sabtu, 25 Januari 2014

kasus penyadapan yang terjadi di Indonesia

Analisis :
Proses Komunikasi Politik Antara Indonesia Dengan Australia

TUGAS
Makalah Ini Di Susun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Komunikasi Politik
Oleh
Armadiana Putri (120240019)
Ilmu Komunikasi
Description: C:\Users\USER\Documents\LOGO UNIMAL.jpg
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS MALIKUSSALEH
ACEH UTARA
2013/2014

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita panjatkan kepada Allah swt, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah dan karunia-Nya. Tak lupa pula salawat salam saya sanjung sajikan ke pangkuan Nabi Besar Muhammad saw, sehingga saya dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Proses komunikasi politik antara Indonesia dengan Australia”.
            Makalah ini saya susun berdasarkan sumber-sumber informasi yang mendukung sehingga dapat saya rangkum sedemikian rupa, agar lebih mudah dipahami oleh pembaca, maka makalah ini lebih banyak berisi poin-poin penting.
            Saya mengucapkan banyak terima kasih atas peran serta berbagai pihak yang telah membantu penyelesaian makalah ini. Saya menyadari akan adanya berbagai kekurangan dan berharap adanya kritikan dan saran dari pembaca demi kesempurnaan hasil kerja saya dimasa yang akan datang.

                                                                        Lhokseumawe, 3 Desember 2013
                                                                                    Hormat saya,

                                                                                     Penyusun












DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR  .................................................................................     i
DAFTAR ISI                ..................................................................................    ii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................   1
1.1.         Latar belakang     ….............................................................................      1
1.2.          Rumusan masalah..............................................................................   1
BAB II PEMBAHASAN................................................................................     2
2.1. Kasus Penyadapan Di Indonesia……………………………... ………..   2
2.2. Isu Sensitif              …………………………………………… ……... 2
2.3. Masalah Serius Bagi Indonesia ……………………...…………………   3
2.4. Dilema Indonesia    …….………………………………………………  4
2.5. Re-orientasi Kebijakan Australia …………….………………………….  5
2.6. Perubahan Kebijakan Penanganan Imigran Ilegal ………….. ……………6
2.7. Reaksi Pemerintah atas Kasus Penyadap..……………………. …………..7
2.8. Penyadapan = Perubahan Kebijakan Penanganan Imigran Ilegal ………… 8
BAB III PENUTUP      ……..…………………………………………….…  9
3.1. Kesimpulan            ……………………………………………………… 9
3.2. Saran                      ……………………………………………………… 9
DAFTAR PUSTAKA   …………………………………………………….. 10





BAB I
PENDAHULUAN

1.1.Latar belakang
Kasus penyadapan yang dilakukan oleh Australia kini telah menjadi diskursus hangat baik itu oleh media, pemerintahan, akademisi, bahkan masyarakat. Beragam aksi protes dan kontra terhadap sikap australia telah dilontarkan oleh pemerintah kita. Walaupun terkesan lamban dan cenderung kurang reaktif atas kejadiaan ini, setidaknya dapat menjadi jawaban bahwa Indonesia tidak berdiam diri dan menegaskan bahwa Indonesia bukanlah negara yang dapat diremehkan.
Penyadapan dalam dunia intelijen, sejatinya bukanlah perkara yang krusial. Penyadapan kerap dilakukan oleh berbagai negara dalam rangka menghimpun informasi guna mencari tahu kelemahan negara (lawan) lain, ataupun memperkuat sistem keamanan negara yang bersangkutan. Penyadapan merupakan hal yang lumrah. Tapi menjadi hal yang aneh apabila, penyadapan dilakukan oleh negara yang dalam setiap forum internasional menyatakan dirinya (Australia) sebagai negara sahabat dari Indonesia.

1.2.Rumusan masalah
Dari uraian latar belakang yang dijabarkan diatas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut : “Merumuskan masalah kasus penyadapan yang terjadi di Indonesia”.












BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Kasus Penyadapan Di Indonesia
Kasus penyadapan yang dilakukan oleh Australia kini telah menjadi diskursus hangat baik itu oleh media, pemerintahan, akademisi, bahkan masyarakat. Beragam aksi protes dan kontra terhadap sikap australia telah dilontarkan oleh pemerintah kita. Walaupun terkesan lamban dan cenderung kurang reaktif atas kejadiaan ini, setidaknya dapat menjadi jawaban bahwa Indonesia tidak berdiam diri dan menegaskan bahwa Indonesia bukanlah negara yang dapat diremehkan.
Penyadapan dalam dunia intelijen, sejatinya bukanlah perkara yang krusial. Penyadapan kerap dilakukan oleh berbagai negara dalam rangka menghimpun informasi guna mencari tahu kelemahan negara (lawan) lain, ataupun memperkuat sistem keamanan negara yang bersangkutan. Penyadapan merupakan hal yang lumrah. Tapi menjadi hal yang aneh apabila, penyadapan dilakukan oleh negara yang dalam setiap forum internasional menyatakan dirinya (Australia) sebagai negara sahabat dari Indonesia. Lantas apakah ini hanya lip service balaka?
Dalam beberapa kesempatan, Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) beserta Menteri Luar Negeri, Marti Natalegawa, telah menyampaikan beberapa kekecewaannya terhadap kasus ini. Mereka berpendapat bahwa Australia bukanlah tetangga yang baik. Australia yang kita nilai sebagai negara sahabat, ternyata malah mengkhianati. Sungguh telah menciderai nilai demokrasi yang telah disepakati bersama.
Hal ini semakin diperparah dengan pernyataan Perdana Menteri Australia, Tony Abbot, yang menyatakan tidak dan tidak akan pernah meminta maaf kepada Indonesia atas insiden ini. Sungguh menjadi pukulan telak bagi Indonesia. Sejatinya, isu penyadapan yang dilakukan oleh Australia terhadap petinggi negara ini pada tahun 2009, dapat dijadikan sebagai momentum untuk meninjau kembali semua kerja sama yang telah dilakukan bersama Australia, baik itu dalam bidang ekonomi, politik, sosial,ataupun militer.

2.2. Isu Sensitif
Dalam tulisan ini saya tidak akan banyak membahas soal penyadapan dan isu lainnya. Sudah cukup banyak media yang mengupas hal itu. Namun, dari sekian banyak berita terkait dengan sikap kontra Indonesia terhadap penyadapan yang dilakukan Australia, tidak ada yang menyinggung soal sikap pemerintah Indonesia dan Australia dalam menangani kebijakan imigran ilegal. Padahal isu sensitif ini dapat menjadi bagian dari posisi tawar Indonesia terhadap Australia, mengingat Indonesia merupakan negara transit bagi pencari suaka (asylum seeker) ataupun pengungsi (refugee) yang hendak ke Australia sebagai negara tujuan.
Masalah penanganan imigran ilegal merupakan masalah besar baik itu bagi Australia ataupun Indonesia sendiri. Kita ketahui bersama bahwa Indonesia sampai saat ini belum meratifikasi Konvensi 1951 dan Protokol 1967 terkait masalah pengungsi, sehingga konsekuensi yuridisnya, Indonesia tidak memiliki kewajiban apapun terhadap penanganan imigran ilegal, baik itu pengungsi ataupun pencari suaka. Oleh karenanya, dalam menangani kasus pencari suaka dan pengungsi, pemerintah Indonesia meminta bantuan kepada Organisasi Urusan Pengungsi PBB, yaitu United Nations High Commisioner for Refugees(UNHCR) dan International Organization of Migration (IOM). Lain halnya dengan Australia yang telah meratifikasi aturan ini, sehingga mereka terikat untuk melaksanakan kewajiban tersebut.
Sebagai negara yang memiliki letak geografis yang sangat strategis, maka Indonesia kerap “disinggahi” oleh para pencari suaka ataupun pengungsi untuk bermigrasi ke Australia. Mereka yang hendak menuju ke Australia sebagai negara tujuan, tentu harus melewati Indonesia. Di antara mereka mayoritas berasal dari negara konflik (bagian afrika, ataupun asia selatan). Sehingga tidak heran apabila Indonesia dipandang sebagai negara yang ramah terhadap masuknya imigran.

2.3. Masalah Serius Bagi Indonesia
Indonesia dan Australia tentu sadar akan hal ini. Selain Australia yang menyimpan masalah terhadap datangnya arus imigran ilegal ini, Indonesia pun juga menghadapi hal yang sama. Sebagai contoh, fenomena yang terjadi sekitar tahun 1979, saat Indonesia kedatangan ratusan ribu pengungsi dari Vietnam, Laos, yang meninggalkan negara mereka akibat konflik bersenjata. Sampai kini, masalah migrasi di wilayah Indonesia ternyata masih terus berlanjut. Ribuan orang dari berbagai negara konflik terus masuk ke wilayah Indonesia, baik secara legal maupun ilegal, melalui darat, laut, maupun udara dengan menyatakan diri sebagai pencari suaka.
Berdasarkan data intersepsi bulan Agustus 2013, ada 38 kasus ditemukan diberbagai wilayah Indonesia dengan total 958 orang. Jumlah tersebut tentu menambah angka yang sudah ada saat ini berkisar 3.800 orang, baik itu yang ditempatkan di Rumah Detensi Imigrasi maupun tempat-tempat penampungan yang telah ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Imigrasi (Ditjen Imigrasi). Angka tersebut bukanlah angka pasti, sebab masih ada banyak imigran ilegal yang luput dari pengawasan Ditjen Imigrasi. Mereka tinggal menyebar dengan menyewa rumah-rumah warga atau tinggal di hotel bahkan apartemen di beberapa kota di Indonesia.
Berdasarkan pemberitaan dari detik.com, gelombang kedatangan imigran ke Indonesia masih berlanjut sampai sekarang. Kali ini di kecamatan Cibalong, Garut. Sebanyak 106 imigran etnis Rohingya yang berasal dari negara Myanmar terpergok dan diamankan oleh pihak kepolisian pada hari minggu (17/11/2013). Para imigran yang terdiri dari 67 pria, 16 wanita, dan 20 anak-anak, diduga hendak menyebrang ke Australia. Kini mereka semua telah diserahkan ke Kantor Imigrasi Kelas II Tasikmalaya untuk dikembalikan ke negara asalnya.
Sudah sejak lama, Indonesia menghadapi masalah dengan orang-orang asing yang mengaku sebagai pencari suaka, untuk diproses statusnya sebagai pengungsi. Meski bukan sebagai negara tujuan, Indonesia sering dipakai sebagai negara transit karena posisi geografis Indonesia berada pada jalur menuju perlintasan negara tujuan suaka, yaitu Australia. Dari Indonesia, mereka berniat masuk ke negara tujuan suaka, rata-rara mereka berniat ke Australia, baik secara legal ataupun ilegal, dengan menggunakan status pengungsi yang dikeluarkan oleh UNHCR mewakili pemerintah Indonesia.
Kedatangan para imigran ilegal ke wilayah Indonesia ini jumlahnya terus meningkat, sehingga mulai menimbulkan kekhawatiran dan ketidaknyamanan serta berpeluang menimbulkan gangguan sosial, kemanan politik, bahkan ketertiban di masyarakat. Jumlah kedatangan mereka tidak sebanding dengan angka penyelesaian atau penempatan ke negara penerima (Australia), termasuk yang dipulangkan secara sukarela dan dideportasi dari wilayah Indonesia. Keberadaan mereka sangat rentan baik dari sisi status, ekonomi, serta psikologis sehingga berpeluang dimanfaatkan oleh jaringan penyelundupan manusia, perdagangan orang narkoba, serta kegiatan kriminal lain termasuk jaringan terorisme internasional. Hal ini bisa menimbulkan dampak serta berbagai masalah di Indonesia.
Fenomena atas penolakan sebagian warga Bogor terhadap keberadaan para imigran yang tinggal di sekitar Cisarua, Bogor, konon berawal dari ketidaknyamanan warga yang mulai terganggu dengan keberadaan para imigran menurut masyarakat setempat, perilaku imigran semakin seenaknya, bahkan mulai mengabaikan masalah hukum di Indonesia.
Masalah imigran ilegal di Indonesia tidak hanya berhenti pada titik ini. Masalah biaya hidup dan tempat tinggal  para imigran ilegal juga menjadi sorotan. Para pencari suaka mendapat tunjangan biaya hidup sekitar 1,2 juta rupiah per orang, per bulan. Bila satu keluarga terdiri dari sepasang suami-istri dengan dua orang anak, maka dalam satu bulan mereka bisa mendapatkan sekitar 4,8 juta rupiah.
Dalam “Forum Komunikasi Antar Instansi di Wilayah Kota Depok dalam Rangka Imigran Gelap dan Pencari Suaka di Indonesia”, yang diselenggarakan oleh Kantor Imigrasi Kelas II Depok di Hotel Mirah, Bogor tanggal 12 September 2013, salah satu perwakilan dari kecamatan di Kabupaten Bogor menanyakan keberadaan serta status dana biaya hidup para imigran tersebut. Di tengah antrian berdesakan warga masyarakat mengambil dana BLSM yang (hanya) sekitar 150 ribu rupiah, maka biaya hidup para imigran itu menjadi sangat mewah dan “menggiurkan”. Ada kecurigaan dari pihak kecamatan bahwa dana tersebut berasal dari dana pemerintah Indonesia.
Mengutip pernyataan dari Yusril Ihza Mahendra dalam kicauan twitternya hari selasa kemarin (19/11/2013), bahwa penanganan imigran ilegal harus diperhatikan secara proposial mengingat, masih banyak warga Indonesia sendiri yang kehidupan ekonominya belum layak. “Padahal rakyat kita sendiri saja miskin, kok masih harus menahan dan menampung begitu banyak imigran asing yang mau ke Australia”, tegas Yusril.

2.4. Dilema Indonesia
Dalam Pasal 8 ayat (2) UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian (yang sebelumnya menggantikan UU No. 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian), telah menentukan bahwa setiap orang asing yang masuk dan keluar wilayah Indonesia wajib memiliki Visa yang sah dan masih berlaku, kecuali ditentukan lain berdasarkan Undang-Undang ini dan perjanjian internasional. Pasal 9 juga menegaskan bahwa setiap orang yang masuk atau keluar wilayah Indonesia wajib melalui pemeriksaan yang dilakukan oleh Pejabat Imigrasi di Tempat Pemeriksaan Imigrasi. Ketentuan selengkapnya dapat dibaca pada Bab III UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian.
Atas dasar hukum inilah, maka setiap imigran masuk wilayah Indonesia tidak berdasarkan aturan dimaksud, maka disebut sebagai imigran ilegal, sehingga dapat dikenakan sanksi pidana. Dalam Pasal 113 UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian disebutkan bahwa setiap orang yang dengan sengaja masuk atau keluar wilayah Indonesia yang tidak melalui pemeriksaan oleh Pejabat Imigrasi di Tempat Pemeriksaan Imigrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Namun dalam das sein(kenyataan) nya, perlakuan akan berbeda ketika pihak Imigrasi Indonesia berhadapan dengan pencari suaka dan pengungsi yang dalam perjalananya hendak ke negara tujuan, yaitu Australia. Apalagi Indonesia sejauh ini belum meratifikasi Konvensi 1951 dan Protokol 1967 tentang Pengungsi, sehingga Indonesia tidak memiliki kewajiban apapun terkait dengan keberadaan imigran ilegal ini.
Namun, dengan mengatasnamakan alasan kemanusiaan dan HAM, maka Indonesia seolah terikat akan kewajiban itu. Belum lagi dengan adanya IOM (yang disinyalir merupakan organisasi buatan Australia untuk “menampung” imigran ilegal di Indonesia yang hendak ke Australia), semakin membuat posisi Indonesia menjadi sulit. Adanya beberapa instrumen hukum yang mengatur soal penanganan imigran ilegal, tentu membuat keadaan semakin serba dilematis. Sebut saja, Perdirjenim No.IMI-1489.UM.08.05 Tahun 2010 tentang Penanganan Imigran Ilegal, TAP MPR No.XVII/MPR/1998 yang berisikan Piagam Hak Asasi Manusia, UUD 1945 (Amandemen) yang berorientasi pada HAM, UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asas iManusia, UU No. 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri, UU No. 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi, dan juga diratifikasinya 7 dari 8 International Human Right Treaties, antara lain:CEDAW (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women), CRC (Convention on the Rights of the Child), ICCPR (International Convenant on Civil and Political Rights), ICESCR (International Convenant on Economic, Social, and Cultural Rights), CAT (Convenant Against Torture), (ICERD (International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination), dan CRPD (Convention on the Rights of Persons with Disability). Instrumen hukum baik nasional dan internasional itu, tentu menjadi suatu dilema yang berat bagi Indonesia, dalam penanganan imigran ilegal. Padahal telah jelas, bahwa dalam UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian dan tidak diratifkasnya Konvensi 1951 dan Protokol 1967, membuat Indonesia dalam posisi tidak ada kewajiban terhadap penanganan imigran ilegal.

2.5. Re-orientasi Kebijakan Australia
Masalah imigran ilegal juga menjadi permasalahan besar bagi Australia yang kerap menjadi negara tujuan. Banyak alasan orang bermigrasi ke Australia, namun rata-rata mereka datang ke Australia untuk memperoleh masa depan yang lebih baik bagi dirinya keluarga, juga bagi keturunannya. Dengan beragam bangsa dan banyak kebudayaan yang berbeda. Australia kemudian tumbuh sebagai negara multikulturalisme, negeri dengan banyak kebudayaan. Ada toleransi terhadap kebudayaan dan bangsa yang berlainan, karena hukum Australia melindungi orang dari diskriminasi ras.
Menurut Biro Statistik Australia, penduduk Australia pada hari selasa tanggal 23 April 2013 akan menjadi 23 juta jiwa. Australia mencatat tingkat pertumbuhan penduduk sekitar 1,7 persen. Berarti, setiap hari penduduk Australia bertambah sekitar 1.048 jiwa. Bagi negara maju, pertumbuhan penduduk Australia termasuk tinggi, bahkan lebih tinggi dari India yang memiliki pertumbuhan penduduk sekitar 1,4 persen.
Namun menurut ahli kependudukan Australia, pertumbuhan penduduk Australia bukan dipicu oleh angka kelahiran, melainkan karena migrasi penduduk yang datang ke Australia. Diperkirakan migrasi telah menyokong pertumbuhan penduduk sekitar 60 persen, sedang proprosi kelahiran justru menurun dari 60 persen menjadi 40 persen.
Kedatangan para imigran ke Australia dalam jumlah besar kini mulai dirasakan mengganggu oleh pemerintah Australia. Menurut Australian Department of Immigration and Citizenship, otoritas yang berwenang mengurusi soal keimigrasian dan kewarganegaraan di Australia, dalam 4 tahun terakhir terjadi peningkatan pencari suaka yang kebanyakan datang dengan perahu melalui perairan dari wilayah Indonesia. Pada tahun 2010  ada sebanyak 6.535 orang, tahun 2011 sekitar 4.565 orang, tahun 2012 melonjak menjadi 17.202 orang dan sampai dengan Juli tahun 2013, sudah mencapai 15.182 orang.
Tony Abbot, Perdana Menteri Australia, sempat menggunakan isu sensitif ini dalam kampanyenya dalam pemilihan Perdana Menteri Australia yang baru. Dia berjanji untuk menerapkan kebijakan baru, yaitu “perang melawan penyelundupan manusia” ke wilayah Australia. Selain itu, Tony Abbot juga akan menerapkan visa sementara, bukan izin menetap, bagi para imigran yang telah diproses menjadi pengungsi. Visa tersebut berlaku selama tiga tahun dan akan dicabut bila sudah tidak sesuai lagi.
Atas dasar inilah, maka Australia merubah kebijakannya dalam menghadapi persoalan para imigran. Namun, kebijakan Australia terhadap imigran ilegal ini tentunya berbeda dengan beberapa tahun bahkan puluhan tahun yang lalu, disaat Australia masih membutuhkan invansi penduduk dalam jumlah yang besar. Australia kini sangat selektif bahkan terkesan membatasi masuknya para imigran, baik itu secara legal ataupun ilegal. Belum lagi terkait dengan kebijakan bagi setiap pencari suaka yang masuk dan telah berada di Australia, yang akan dialihkan langsung ke negara ketiga, yaitu Papua Nugini. Kebijakan ini tentu akan merugikan Indonesia sebagai negara transit bagi mereka yang sedari awal  hendak ke negara tujuan, yaitu Australia.

2.6. Perubahan Kebijakan Penanganan Imigran Ilegal
Dalam konteks ini, tentu benang merahnya adalah Australia sangat berkepentingan terhadap Indonesia. Indonesia dipandang sebagai negara pertama yang dapat menahan masuknya arus imigran ilegal yang tidak diharapkan oleh Australia. Australia menganggap Indonesia memilii peran strategis, untuk menangkal para imigran ilegal masuk ke wilayah Australia. Tidak sedikit dari mereka berlayar menggunakan perahu (sehingga ada sebutan “manusia perahu”) untuk berlayar menuju ke Australia sebagai negara tujuan akhir. Mereka menganggap Australia sebagai negara yang dapat menjanjikan kebahagiaan hidup, yang tidak mereka dapat di negara mereka sebelumnya.
Baru-baru ini Pemerintah Australia mengeluarkan kebijakan baru terkait masalah pencari suaka yang masuk negaranya. Australia melibatkan Pemerintah Papua Nugini dalam sebuah kesepakatan bersama yang ditanda tangani tanggal 19 Juli 2013. Kebijakan tersebut memuat bahwa pencari suaka yang tiba di Australia dengan mengguakan perahu, akan langsung dikirim ke Papua Nugini, sebagai negara ketiga. Mereka akan diproses untuk ditempatkan (secara permanen) di Papua Nugini, bukan di Australia. Kebijakan tersebut dibuat, untuk menghambat tindak kejahatan penyelundupan manusia ke Australia, terutama oleh pencari suaka yang datang di pantai-pantai Australia dengan memakai perahu.
Hal ini tentu berpengaruh terhadap situasi di Indonesia. Para imigran yang semula merencakan masuk ke Australia menggunakan perahu ada kemungkinan membatalkan niat mereka. Syukur bila mau dipulangkan kembali ke negara mereka secara suka rela. Namun bagaimana jika mereka “berminat tinggal” di Indonesia? Atau mereka akan menempuh jalur legal lewat UNHCR, dengan menunggu status sebagai pengungsi yang minimal memakan waktu 2 tahun?
Lalu bagaimana bila setelah mendapat status sebagai pengungsi, UNHCR menempatkan mereka ke negara ketiga tidak ke Australia? Apakah kebijakan pemerintah Australia menolak pencari suaka perahu merupakan kebijakan final atau pemerintah Australia masih bisa menerima pengungsi atas rekomendasi dari UNHCR? Bagi Indonesia apakah ini bukan sebuah “bom waktu”?
Kini, penanganan imigran ilegal kembali menjadi isu yang hangat antara Indonesia dan Australia setelah ada puluhan imigran yang diselamatkan oleh pihak Australia di perairan perbatasan Indonesia dan Australia. Otoritas imigrasi Australia meminta Indonesia menampung para imigran tersebut karena diklaim ditangkap di wilayah perairan Indonesia. Namun, Indonesia menolak dengan alasan ekonomi dan sosial. Ada temuan yang berkembang bahwa para imigran itu memang sengaja digiring oleh pihak Australia untuk masuk ke perairan Indonesia. Kejadian ini menjadi sinyal bahwa sejatinya Australia telah merubah orientasinya dalam penangananan para imigran. Tentu ini akan berdampak buruk pada hubungan diplomatik antara Indonesia dan Australia, yang kini diperparah dengan berkembangnya kasus penyadapan.

2.7. Reaksi Pemerintah atas Kasus Penyadapan
Dari sekian banyak reaksi kontra pemerintah soal penyadapan yang dilakukan Australia terhadap Indonesia, yang membuat saya tertarik adalah pernyataan Presiden SBY dalam pidatonya yang menyikapi soal penanganan imigran ilegal dan penyelundupan manusia (people smugling). Dalam pidatonya tersebut, Presiden SBY menyatakan akan meninjau kembali (review) beberapa perjanjian kerja sama strategis dengan Australia. Berikut isi pidato Presiden SBY dalam point 2 terkait dengan peninjauan kembali beberapa kerjasama strategis dengan Australia: “....Saya juga minta dihentikan sementara yang disebut dengancoordinated military operations. Saudara tahu bahwa menghadapi permasalahan bersama people smugling yang merepotkan Indonesia dan Australia, kita punya kerjasama yang disebut coordinated military operationsCoordinated control di wilayah lautan. Ini saya meminta dihentikan dulu, sampai semuanya jelas. Tidak mungkin kita melanjutkan semuanya itu kalau kita tidak yakin tidak ada penyadapan terhadap tentara Indonesia, terhadap kita yang secara bersama-sama justru mengemban tugas untuk kepentingan kedua negara....”
Menyitir pernyataan Burhanuddin Muhtadi (Peneliti LSI) dalam acara “Gesture” di tvOne tadi malam (21/11/2013) yang menyatakan bahwa Australia kini dalam posisi yang sulit apabila Indonesia memutuskan perjanjian kerja sama soal penanganan imigran ilegal dan people smugling. “Australia sebenarnya dalam posisi yang sulit. Akan menjadi sebuah bencana bagi Australia, apabila Indonesia menghentikan perjanjian bilateral dengan Australia soal people smugling. Belum lagi soal imigran ilegal. Padahal penegakan hukum terkait dengan kedua kasus itu adalah “jualannya” Tony Abbot dalam kampanyenya dalam pemilihanPerdana Menteri Australia kemarin”, tegas Burhanuddin. Menurut saya, apabila ini terbukti terjadi, maka akan menjadi persoalan serius bagi Australia ke depannya.

2.8. Penyadapan = Perubahan Kebijakan Penanganan Imigran Ilegal
Tentu hal ini akan menjadi masalah krusial bagi Indonesia, mengingat Indonesia sendiri tidak memiliki kewajiban apapun dalam menangani masalah imigran ilegal. Oleh karenanya, terkait dengan adanya kasus penyadapan yang dilakukan oleh pihak Australia terhadap pejabat di pemerintahan Indonesia, harus dijadikan momentum bagi Indonesia sendiri untuk meninjau kembali kebijakan penanganan para imigran ilegal. Kiranya ini dapat menjadi momentum yang pas bagi pemerintah Indonesia untuk menaikkan nilai dan posisi tawar (bargaining position) terhadap Australia yang hingga kini belum memberikan reaksi serius ataupun pernyataan permintaan maaf atas adanya kasus penyadapan tersebut.
Indonesia harus jeli memanfaatkan situasi ini. Australia tentu sangat berkepentingan dengan Indonesia. Ditambah lagi adanya kasus penyadapan, yang semakin membuat Australia dalam posisi sulit. Setidaknya apabila memang diperlukan, Indonesia dapat mengancam pihak Australia dengan skeneario bahwa setiap pencari suaka dan pengungsi yang masuk dan berada di Indonesia, akan langsung dikirim ke Australia. Tentu hal ini tidak diinginkan oleh Australia mengingat akan berdampak luas pada eksistensi Australia sebagai negara yang meratifikasi Konvensi 1951 dan protokol 1967 tentang pengungsi. Oleh karenanya pembahasan ini menjadi penting bagi Indonesia dalam menyikapi kasus penyadapan, setidaknya menjadi alternatif ancaman bagi Australia yang bersikap arogan terhadap Indonesia. 







BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
            Ada 3 (tiga) hal yang Indonesia akan lakukan kedepan ini, yaitu :
  1. Di hari-hari mendatang ini Indonesia tetap menunggu penjelasan dan pertanggungjawaban Australia atas kasus penyadapan itu.
  2. Di hentikan dulu, kerjasama yang disebut pertukaran informasi dan pertukaran intelijen (intelligence exchange)dan information sharing diantara kedua Negara
  3. Kita tempuh sekali lagi sambil menunggu apa yang akan disampaikan oleh pemerintah Australia

3.2. Saran
            Rakyat Indonesia kesal dan marah terhadap apa yang dilakukan oleh pihak-pihak Australia kepada Indonesia, kepada negara kita. Namun demikian, dalam hubungan antarbangsa, di dalam menghadapi situasi tertentu, tentu tidak boleh kita terlalu emosional dan mesti tetap rasional. Karena apa yang kita tempuh dan lakukan menyusul terjadinya kegiatan penyadapan ini akan menentukan masa depan hubungan Indonesia-Australia dan menentukan persahabatan di antara bangsa Indonesia dan bangsa Australia yang sesungguhnya terjalin dengan baik.











DAFTAR PUSTAKA











Jumat, 24 Januari 2014

Proses pencitraan politik

Proses pencitraan politik

Tugas Ini Dibuat Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Komunikasi Politik

OLEH :
Armadiana Putri/120240019
Ilmu Komunikasi
III PR A

Description: Description: C:\Users\acer\Documents\MY DOC\bahan kuliah\LOGO UNIMAL.jpg

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS MALIKUSSALEH
ACEH UTARA
2013/2014
KATA PENGANTAR
            Puji dan syukur kita panjatkan kepada Allah swt, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah dan karunia-Nya. Tak lupa pula salawat salam saya sanjung sajikan ke pangkuan Nabi Besar Muhammad saw, sehingga saya dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Proses Pencitraan Politik”.
            Makalah ini saya susun berdasarkan sumber-sumber informasi yang mendukung sehingga dapat saya rangkum sedemikian rupa, agar lebih mudah dipahami oleh pembaca, maka makalah ini lebih banyak berisi poin-poin penting.
            Saya mengucapkan banyak terima kasih atas peran serta berbagai pihak yang telah membantu penyelesaian makalah ini. Saya menyadari akan adanya berbagai kekurangan dan berharap adanya kritikan dan saran dari pembaca demi kesempurnaan hasil kerja saya dimasa yang akan datang.

                                                                        Lhokseumawe, 9 januari 2014                                                                                                                        Hormat saya,

                                                                                     Penyusun











DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
2.1. Komunikasi politik sebagai studi ilmu komunikasi
2.2. Proses komunikasi politik
2.3. Komunikator, khalayak, pesan, media dan pemasaran politik
2.4. Pencitraan politik capres-cawapres dalam upaya menumbuhkan citra positif dan opini public menjelang Pileg 2014
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan          
3.2 Saran        
DAFTAR PUSTAKA         







BAB I
PENDAHULUAN

Kampanye politik adalah sebuah upaya pencitraan, baik oleh partai politik, calon legislatif maupun calon presiden (capres) atau calon wakil presiden (cawapres). Seperti halnya sebuah iklan produk, maka kampanye politik juga menawarkan sesuatu yang bisa dijual pada diri kandidat atau parpol untuk dibeli oleh para calon pemilih.
Sesuatu yang dijual tentu menunjukkan nilai lebih, baik dari segi mutu maupun penampilan. Sehingga di dalam dunia marketing, pada pandangan pertama bungkus bisa sangat menentukan dibandingkan isi. Produk sehebat apa pun, dengan kualitas tinggi sekalipun bisa tidak laku kalau pembungkusnya tidak menarik atau berkesan tidak bisa dipercaya.
Pencitraan bermakna memberikan citra atau gambaran – dalam hal ini tentu saja yang baik-baik. Sebagai usaha untuk menarik hati para calon pemilih, para kandidat dan parpol akan memanfaatkan segala hal yang bisa menumbuhkan pandangan positif pada diri pemilih terhadap mereka, baik itu segi penampilan, gaya berbicara, kecerdasan dalam mengungkapkan pikiran, maupun kegiatan atau hasil kerja yang sudah ada.
Di era reformasi semua orang bisa mendirikan partai dan persaingan antar partai semakin terbuka dalam memperebutkan konstituen. Apalagi dengan adanya pemilihan langsung presiden dan pilkada. Peran teori dan praktik pemasaran semakin diperlukan oleh partai politik dan individu yang berkecimpung di dunia politik.
Pemasaran selama ini sudah dikenal luas dan telah dipraktikkan dalam dunia industri. Bagaimana produk dari suatu perusahaan di perkenalkan dan didistribusikan ke konsumen, kemudian sebuah produk beri label merek lalu di positioningkan agar memiliki citra yang berbeda dengan pesaingnya untuk memenangkan pasar, itu semua dilakukan dengan menggunakan konsep pemasaran.









BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Komunikasi politik sebagai studi ilmu komunikasi
Sebagai suatu bidang kajian, studi komunikasi politik mencakup dua disiplin dalam ilmu-ilmu sosial, yaitu ilmu politik dan ilmu komunikasi. Dalam ilmu politik, istilah komunikasi politik mulai banyak disebut-sebut bermula dari tulisan Gabriel Almond yang berjudul The Politics of the Development Areas pada tahun 1960. Almond berpendapat bahwa komunikasi politik adalah salah satu fungsi yang selalu ada dalam dalam setiap sistem politik. Menurutnya, komunikasi politik bukanlah fungsi yang berdiri sendiri, akan tetapi merupakan proses penyampaian pesan yang terjadi pada saat keenam fungsi lainnya itu dijalankan. Dalam hal ini, Easton (dalam System Analysis of Political Life, 1965) memberi batasan sistem politik pada berbagai hal yang berkaitan dengan pembuatan dan pelaksanaan keputusan otoritatif.
Berbeda dengan ilmuwan politik yang lebih membahas komunikasi politik berkenaan dengan sistem politiknya, yaitu proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan otoritatif. Ilmuwan komunikasi membahas komunikasi politik berkenaan dengan unsur-unsur komunikasinya sebagai upaya merumuskan suatu komunikasi politik yang efektif (bandingkan dengan Maswadi Rauf, 1993).
Walaupun istilah komunikasi politik mulai populer pada tahun 1960, namun studi –studi tentang komunikasi yang memuat pesan-pesan politik telah ada semenjak lama. Misal: Studi propaganda pada perang dunia yang dilakukan Harold Lasswell pada tahun 1927; Studi tentang tingkah laku pemilih yang dilakukan Lazarfeld, Berelson dan Gaudet pada tahun 1940 di daerah Ohio, yang kemudian dipublikasikan dengan judulThe People’s Choice: How the Voter Makes Up His Mind in a Presidential Campaign; Studi perubahan attitude dalam proses komunikasi yang dilakukan Karl Hovland dkk, 1953, Communication and Persuasion: Psychological Studies of Opinion Change; dan sebagainya. Semua studi tersebut telah meletakan dasar –dasar yang kokoh bagi pengembangan studi komunikasi politik.

2.2. Proses komunikasi politik
Pada tahun 1948, ilmuan politik, Harold D. Laswell mengemukakan bahwa cara mudah untuk menggambarkan proses komunikasi adalah dengan menjawab pertanyaan- pertanyaan berikut ini:
-          Who
-          Says What (apa yang dibicarakan)
-          In which channel (menggunakan saluran apa)
-          To Whom (kepada siapa)
-          With what effect (bagaimana pengaruhnya).
Pertanyaan-pertanyaan tersebut digunakan untuk mengidentifikasi unsur-unsur yang biasa terdapat dalam semua komunikasi yaitu adanya:
-          Pengirim atau komunikator (sender) adalah pihak yang mengirimkan pesan kepada pihak lain.
-          Pesan (message) adalah isi atau maksud yang akan disampaikan oleh satu pihak kepada pihak lain.
-          Saluran (channel) adalah media dimana pesan disampaikan kepada komunikan. dalam komunikasi antar-pribadi (tatap muka) saluran dapat berupa udara yang mengalirkan getaran nada/suara.
-          Penerima atau komunikate (receiver) adalah pihak yang menerima pesan dari pihak lain
-          Umpan balik (feedback) adalah tanggapan dari penerimaan pesan atas isi pesan yang disampaikannya.
Menurut Dan Nimmo, Laswellian Formula merupakan formula paling sederhana yang bisa dipakai untuk memahami proses komunikasi politik. Namun Nimmo menilai masih ada dua kekurangan dari rumusan yang dikemukakan Laswell, yakni :
-          Kekurangan pertama terletak pada ” pernyataan dari seseorang kepada seseorang” yang menyiratkan proses komunikasi berlangsung linear. Dalam kenyataannya, komunikasi merupakan tindakan bersama yang yang berlangsung simultan dan silkular antara seseorang dengan orang lain.
-          Kekurangan kedua adalah penjelasan laswell yang menyiratkan bahwa komunikasi adalah struktur berunsur lima. Dalam kenyatannya tidak ada demarkasi atau perbatasan diantara bagian- bagian proses komunikasi.
Untuk mengatasi kekurangan ini, Nimmo mereformulasi rumusan Laswell menjadi berikut :
Laswell:
-          Siapa?
-          Mengatakan apa?
-          Kepada siapa?
-          Dengan saluran apa?
-          Dengan akibat apa?
Nimmo:
-          Siapa?
-          Mengatakan apa?
-          Kepada (dengan) siapa?
-          Dengan saluran (-saluran) apa?
-          Dengan akibat (- akibat) apa?


2.3. Komunikator, khalayak, pesan, media dan pemasaran politik
J Komunikator politik
Komunikator Politik adalah orang atau sekelompok orang yang menyampaikan pesan poltik yang biasa nya berkaitan dengan kekuasaan pemerintah, kebijakan pemerintah, aturan pemerintah, kewenangan pemerintah yang bertujuan untuk mempengaruhi khalayak baik itu verbal atau non verbal.
Menurut "Nimmo (1989)" mengklasifikasikan komunikator utama dalam politik sebagai berikut :
1. Politikus.
- Orang yang memegang jabatan pemerintah, tidak perduli apakah mereka dipilih, ditunjuk/ pejabat karir. Dan tidak mengindahkan apakah jabatan itu eksekutif, legislatif, yudikatif.
ex. Pejabat Eksekutif (presiden, menteri, gubernur, dsb).
      Pejabat Legislatif ( ketua MPR, ketua DPR/DPD, anggota DPR/DPD dsb)
      Pejabat Yudikatif (MA, MK, Jaksa Agung dsb)
2. Profesional.
-Orang-orang yang mencari nafkahnya dengan berkomunikasi, karna keahlian nya berkomunikasi.
a. Jurnalis --> Karyawan organisasi berita yang menhubungkan sumber berita dengan khalayak. Mereka bisa mengatur para politikus dengan publik umum, menghubungkan publik umum dengan para pemimpin dan membantu menempatkan masalah dan peristiwa pada agendadiskusi publik.
b. Promotor -->Orang yang dibayar untuk mengajukan kepentingan langganan tertentu. Yang termasuk ke dalam promotor adalah agen publisitas tokoh masyarakat yang penting, personel hubungan masyarakat pada organisasi swasta atau pemerintah, sekretaris pers kepresidenan dsb.
3. Aktivis
- Komunikator poltik utama yang bertindak sebagai saluran organisasional dan interpersonal. Ia cukup terlibat baik dalam politik dan semiprofesional dalam komunikasi politik. Mewakili tuntutan keanggotaan suatu organisasi, melaporkan keputusan dan kebijakan pemerintah kepada anggota suatu organisasi.
* Komunikator Politik yang baik :
1. Mengenal diri sendiri.
2. Kredibiltas (kepercayaan)
3. Daya tarik
4. Power (kekuatan)

J Khalayak politik
Dalam komunikasi politik,khalayak yang menerima pesan-pesan politik adalah khalayak politik. Jadi khalayak atau masyarakat luas atau publik yang menerima, memaknai dan terpengaruh dengan berita dan infoirmasi atau pesanyang mempunyai muatan politik dalam bentuk apapun adalah khalayak politik. Khalayak politik juga dapat berubah menjadi komunikator politik dalam situasi dan kepentingan tertentu, juga sebaliknya.
Khalayak politik adalah khalayak yang mempunyai perhatian terhadap perkembangan keadaan politik, memiliki informasi mengenai perkembnangan tersebut, dan mau aktif berpartisipasi, merupakan kebutuhan sistem politik.
Hennesy (dalam Nasution 1990), membedakan publik sebagai berikut:
-          Publik umum (general public);Publik umum terdiri dari hampir separuh penduduk, dalam kenyataannya jarang berkomunikasi dengan para pembuat kebijakan.
-          Publik yang penuh perhatian (the attentive public);Sedangkan publik attentive merupakan khalayak yang menaruh perhatian terhadap diskusi-diskusi antar elit politik dan seringkali termobilisasi untuk bertindak dalam kaitan suatu permasalahan politik.
-          Elit opini dan kebijakan (the leadership public).Di antara semuanya, elit opini dan kebijakan merupakan kalangan yang paling aktif minatnya dalam masalah kepemerintahan dan seringkali sebagai pelaku politik.
J Pesan politik
Pesan politik merupakan salah satu unsur penting dalam komunikasi politik. Pesan dapat diterjemahkan sebagai informasi yang dikirimkan oleh komunikator kepada komunikan. Selain itu pesan juga dapat diartikan sebagai pemikiran dan gagasan yang diungkapkan melalui bahasa. Dalam komunikasi antar manusia, pesan dapat berbentuk verbal atau non-verbal.
Ada beberapa jenis pesan dalam komunikasi politik. Lynda Lee Kaid mengidentifikasi tiga pesan, yakni melalui retorika politik, iklan politik dan debat kandidat. Sementara Dan Nimmo mengidentifikasikannya menjadi propaganda, periklanan dan retorika. Dalam penelitian ini penulis merumuskan pesan-pesan politik ke dalam tiga bentuk, yakni retorika, iklan politik, dan propaganda.
a. Retorika
Sambil mengutip Cicero, Bruce Gronbeck, dalam Lynda Lee Kaid, mengatakan bahwa the good man speaking well. Kalimat ini menjadi dasar bagi Gronbeck dalam memformulasikan teorinya mengenai retorika politik. Menurut Gronbeck, retorika adalah kemampuan berbicara di muka publik dengan berbagai teknik untuk bukan saja menyampaikan pesan, melainkan juga menanamkan pengaruh. Sementara retorika politik diterjemahkan sebagai cara yang dilakukan para komunikator politik dalam berinteraksi dengan publik. Pada dasarnya, menurut Gronbeck, tanpa memasukan kata “politik” pun retorika merupakan sebuah wacana yang sepenuhnya politis karena mengandung kepentingan politik.
James Boyd White melihat retorika sebagai domain yang luas dari pengalaman sosial dalam wujud bahasa. Berbekal teori social construction, White percaya bahwa budaya “disusun kembali” (reconstituted) melalui bahasa. Sebagaimana bahasa mempengaruhi manusia, manusia juga mempengaruhi bahasa. Bahasa pada dasarnya socially constructed, dan maknanya bergantung pada maksud dari manusia yang menggunakannya. Dan dari yang bersifat socially constructed, bahasa kemudian dapat juga menjadi alat merekonstruksi sosial. Retorika membuktikan hal itu sejak zaman Plato.
Dan Nimmo mendefinisikan retorika sebagai komunikasi dua arah, satu-kepada-satu, dalam arti satu orang atau lebih, yang saling berusaha untuk mempengaruhi pandangan satu sama lain melalui tindakan timbal balik.
Sebagai kesimpulan, dalam penelitian ini retorika didefinisikan sebagai komunikasi dua arah yang disampaikan di depan publik dengan berbagai teknik tertentu untuk melakukan transmisi pesan sekaligus menanamkan pengaruh. Retorika merupakan seni penggunaan bahasa untuk berkomunikasi secara efektif dan persuasif.
Sambil mengutip Aristoteles, Dan Nimmo mengklasifikasikan retorika menjadi tiga jenis, yakni retorika deliberatif, retorika forensik dan retorika demonstratif. Retorika deliberatif  dirancang untuk mempengaruhi orang-orang dalam urusan kebijakan pemerintah dengan menggambarkan keuntungan dan kerugian relatif dari cara-cara alternatif. Fokusnya adalah pada apa yang akan terjadi di masa depan jika suatu kebijakan tertentu diambil atau tidak diambil.
Retorika forensi menyangkut ruang yuridis. Fokusnya pada apa yang terjadi di masa lalu untuk menunjukan bersalah atau tidak bersalah, pertanggungjawaban, atau hukuman dan ganjaran. Setting-nya biasanya dilakukan di ruang sidang, meskipun terjadinya di tempat lain.
Retorika demonstratif  merupakan pidato epideiktik, wacana yang memuji dan menjatuhkan. Tujuannya adalah untuk memperkuat sifat baik dan sifat buruk seseorang, suatu lembaga atau gagasan. Kampanye politik biasanya menggunakan retorika demonstratif.
b. Iklan Politik
Selain retorika, pesan dalam komunikasi politik adalah iklan politik. Menurut Lynda Lee Kaid, sebagai sebuah bentuk komunikasi politik, iklan politik telah berkembang menjadi bentuk dominan dalam komunikasi antara para kandidat dan pemilih, terutama di Amerika. Dalam bentuknya yang berbeda, iklan politik juga telah menjadi sebuah bentuk komunikasi bagi negara-negara demokratis di seluruh dunia.
Iklan politik pada tabiatnya hampir sama dengan iklan komersial. Sepak terjangnya bagian dari fenomena bisnis modern. Tidak ada perusahaan (dalam hal ini parpol) yang ingin maju dan memenangkan kompetisi bisnis (dalam hal ini Pemilu) tanpa mengandalkan iklan politik.
Iklan politik, menurut Lynda, merupakan proses komunikasi dimana sebuah partai politik atau seorang kandidat “membeli” kesempatan untuk mengekspos dirinya kepada komunikan melalui saluran media massa untuk menyampaikan pesan-pesan politik dengan tujuan mampu memberikan efek berupa pengaruh dalam membentuk sikap politik, kepercayaan dan atau tingkah laku komunikan.
Ada dua hal penting dalam definisi di atas, yakni iklan politik dapat melakukan kontrol terhadap pesan dan penggunaan media massa sebagai saluran distribusi pesan. Pada yang pertama, seorang kandidat atau sebuah partai politik dapat mengemas, menentukan dan mengontrol pesan apa yang ingin disampaikan kepada audiens. Pada yang kedua, media kemudian juga mempunyai peran signifikan atas “evolusi makna” pada pesan politik yang ingin disampaikan kandidat atau partai politik.
Menurut Dan Nimmo, iklan politik merupakan komunikasi satu-kepada-banyak; iklan mendekati individu-individu tunggal, independen, terpisah dari kelompok apapun yang menjadi identifikasinya dalam masyarakat.
Iklan politik tidak lepas dari kepentingan yang mengarahkan dan mempengaruhi opini publik demi sebuah tujuan yang telah direncanakan oleh pembuat iklan. Opini publik yang kemudian terbangun melalui iklan diharapkan dapat mengarahkan masyarakat umum untuk membeli dan mengkonsumsi “produk” yang diiklankan.
Pertanyaannya kemudian adalah, apakah pesan yang disampaikan melalui iklan politik otomatis akan sampai kepada audiens sebagaimana harapan komunikator, dalam hal ini kandidat atau partai politik? Jawaban atas pertanyaan ini terumus atas tiga kondisi, yaitu: Pertama, bagaimana pesan itu dikemas sehingga efektif masuk ke dalam benak audiens dan memberikan efek yang kuat pada tingkah laku untuk memutuskan dalam memilih; Kedua, peran besar media yang mampu menentukan apakah komunikator akhirnya memiliki kesempatan untuk menyampaikan pesannya. Artinya, apakah komunikator diberikan cukup waktu oleh media untuk menayangkan iklan politiknya, seberapa besar biaya iklan itu, dan akan ditayangkan pada waktu yang seperti apa oleh media. Ketiga, memperhatikan regulasi atau Undang-Undang yang mengatur soal iklan politik, dalam hal ini Undang-Undang berkampanye. Ada aturan dan batasan bagi kandidat atau partai politik untuk menyampaikan pesan politiknya melalui iklan politik.
Pada umumnya penelitian mengenai iklan politik terbagi ke dalam dua kategori; penelitian mengenai konten iklan politik dan penelitian yang terfokus pada efek yang ditimbulkan oleh iklan politik. Di Indonesia sendiri penelitian tentang iklan politik lebih banyak pada konten iklan. Padahal, dalam pandangan penulis, penelitian mengenai efek iklan juga merupakan hal yang sangat signifikan.
Menurut Lynda Lee Kaid, penelitian atas efek iklan politik pada umumnya terbagi menjadi tiga kategori; efek pada tingkat pengetahuan pemilih (efek kognitif), efek pada persepsi pemilih terhadap kandidat (efek afektif), dan efek terhadap tingkah laku pemilih (efek behavior), termasuk efek dalam memutuskan untuk memilih.
Menurut Gati Gayatri, kampanye melalui iklan dalam media massa terbukti menimbulkan efek tertentu pada perilaku memilih yang ditunjukkan masyarakat dalam pemilu. Efek tersebut bisa berupa perubahan-perubahan opini, persepsi, sikap atau perilaku; bersifat mikro terjadi secara individual atau makro terjadi secara menyeluruh pada suatu sistem sosial; bersifat langsung atau kondisional, karena isu media tertentu saja atau secara umum; dan bersifat alterasi atau stabilisasi.
Iklan politik melalui media massa merupakan salah satu alternatif yang sering dipilih parpol dan kandidat dalam pelaksanaan kampanye pemilu. Meskipun harus mengeluarkan dana yang besar, parpol dan kandidat sering menggunakan iklan dalam media massa sebagai salah satu alat untuk memudahkan upaya pencapaian tujuan-tujuan politik mereka. Pertimbangan-pertimbangan yang menjadi landasan mereka memutuskan menggunakan media komunikasi politik itu biasanya adalah faktor keunggulan media massa dalam menjangkau khalayak yang sangat luas dan faktor peluang menyampaikan pesan-pesan politik dengan berbagai pilihan strategi komunikasi.

c. Propaganda
Teknik penyampaian pesan lain di samping retorika dan iklan politik adalah melalui Propaganda. Propaganda diakui sebagai salah satu teknik paling kuat dalam menanamkan pengaruh kepada massa.
Bernays, seperti dikutip Nurudin, mendefinisikan propaganda sebagai suatu usaha yang bersifat konsisten dan terus menerus untuk menciptakan atau membentuk peristiwa-peristiwa guna mempengaruhi hubungan politik terhadap suatu usaha atau kelompok.
Menurut  Jacques Ellul, seperti dikutip Dan Nimmo, propaganda adalah suatu alat yang digunakan oleh kelompok yang terorganisasi untuk menjangkau individu-individu yang secara psikologis dimanipulasi dan digabungkan ke dalam suatu organisasi.
Garth S. Jowett dan Victoria O'Donnell mendefinisikan propaganda sebagai sebuah usaha yang sengaja dan sistemik untuk membentuk persepsi, memanipulasi kognisi, dan mengatur tingkah laku untuk mendapatkan respons sesuai seperti yang diinginkan oleh propagandis.
Dengan demikian, pada dasarnya propaganda merupakan “metode” komunikasi yang dilakukan untuk memberikan pengaruh kepada massa melalui teknik-teknik tertentu. Umumnya propaganda lebih ditujukan pada emosi massa dibanding pada intelek massa. Karena itu seringkali propaganda tidak sekedar “mempengaruhi” namun juga “menggerakan” massa.
Nurudin mengidentifikasi enam komponen yang terdapat dalam propaganda; Pertama, dalam propaganda selalu ada pihak yang dengan sengaja melakukan proses penyebaran pesan untuk mengubah sikap dan tingkah laku sasaran propaganda. Pelaku penyebar pesan dalam propaganda disebut propagandis. Kedua, propaganda dilakukan secara terus menerus. Hal ini berbeda dengan kampanye yang umumnya dilakukan secara temporer. Ketiga, dalam propaganda terdapat proses penyampaian ide, kepercayaan atau bahkan doktrin. Keempat, propaganda memiliki tujuan untuk mengubah pendapat, sikap dan tingkah laku individu atau kelompok lain. Kelima, propaganda adalah usaha sadar; sebuah cara yang sistematis, prosedural dan terencana dengan matang. Keenam, untuk mencapai tujuannya, propaganda biasanya menggunakan media yang tepat, terutama media massa.
Propaganda dapat diklasifikasi menjadi tiga bentuk berdasarkan sumber dan asal pesan, yakni white propaganda, black propaganda dan grey propaganda. White propaganda (propaganda putih) berasal dari sebuah sumber terbuka yang dapat diidentifikasi, dan karakteristiknya adalah menggunakan metode persuasi, seperti yang biasa digunakan dalam teknik public relation. Black propaganda (propaganda hitam) berasal dari satu sumber saja, dan ini merupakan fakta bagi orang atau kelompok lain. Black propaganda digunakan untuk memojokan atau memberikan citra negatif kepada lawan politik. Grey propaganda (propaganda abu-abu) berasal dari sumber yang sulit dikenali. Tujuan utama grey propaganda adalah untuk membuat lawan percaya pada kesalahan propagandis dengan menggunakan argumen “straw” atau argumen yang sesungguhnya bersifat sebaliknya. Misalnya propagandis ingin membuat pemerintah mengatakan “A”, namun propagandis itu mengatakan “B” sambil menggiring pemerintah untuk meyakini bahwa “B” itu salah dan yang benar adalah “A”. Maka pemerintah akan berasumsi bahwa “A” adalah yang benar, sebagaimana tujuan propagandis.
J Media politik
Kesamaan utama antara politik dan media ada pada hubungannya dengan orang banyak. Kedua ranah tersebut membutuhkan dan dibutuhkan oleh masyarakat, yang anonim, dalam melakukan operasi-operasi rutinnya. Politik berurusan dengan ideologi, dan topik ideologi tentu saja menyangkut kehidupan sosial rakyat. Sementara media adalah jembatan antara topik atau tema yang diangkat dengan rakyat yang tersebar.
Secara teoritis, keduanya bisa berjalan dengan harmoni. Media massa bisa memediasi kegiatan politik dari para politisi kepada masyarakat. Dan sebaliknya, media juga bisa memediasi opini, tuntutan, atau reaksi masyarakat kepada para politisi. Media massa adalah ruang lalu lintas bagi segala macam ide-ide yang menyangkut kepentingan orang banyak.
Namun demikian, permasalahannya adalah, sejauh apa media bisa bertindak adil atas berbagai kepentingan yang dimediasinya? Ada begitu banyak kepentingan yang terjadi, dan bagaimana media massa menempatkannya secara proporsional? Apa yang menyebabkan sebuah kegiatan politik dari golongan tertentu lebih dikedepankan ketimbang kepentingan politik lain dari golongan yang lain juga?
Jawabannya terkadang tak begitu jelas. Dan belum ada Undang-Undang yang tertuang untuk itu. Belum ada aturan yang mengkriteriakan bahwa seseorang harus mendapat sekian kalimat untuk dimuat di media cetak, berapa menit di televisi, dan harus mendapat intonasi yang sama dari pewawancara dalam media televisi. Lebih dari itu, masalahnya bukan hanya terletak pada bagaimana bertindak adil, tetapi juga bagaimana gemuruh aktivitas politik itu bisa selaras dengan empat fungsi media massa, yakni memberikan informasi, memberikan pendidikan, memberikan hiburan, dan melakukan kontrol sosial.
Dalam menghadapi dunia politik, media massa tak jarang menemui kesulitan-kesulitan tersendiri. Di satu sisi, media massa dituntut untuk melaksanakan fungsinya agar pembaca, pemirsa, atau pendengar kian memiliki sikap kritis, kemandirian, dan kedalaman berpikir. Namun di sisi lain, pragmatisme ekonomi memaksa media mengadopsi logika politik praktis yang terpatri pada spektakuler, sensasional, superfisial, dan manipulatif.

Propaganda Politik
Politik dan media memang ibarat dua sisi dari satu mata uang. Media memerlukan politik sebagai makanan yang sehat. Media massa, khususnya harian dan elektronik, memerlukan karakteristik yang dimiliki oleh ranah politik praktis: hingar bingar, cepat, tak memerlukan kedalaman berpikir, dan terdiri dari tokoh-tokoh antagonis dan protagonis.
Politik juga memerlukan media massa sebagai wadah dalam mengelola kesan yang hendak diciptakan. Tidak ada gerakan sosial yang tidak memiliki divisi media. Apapun bidang yang digeluti oleh sebuah gerakan, semuanya memiliki perangkat yang bertugas untuk menciptakan atau berhubungan dengan media.
Dunia politik sadar betul bahwa tanpa kehadiran media, aksi politiknya menjadi tak berarti apa-apa. Bahkan menurut C. Sommerville, dalam bukunya Masyarakat Pandir atau Masyarakat Informasi (2000), kegiatan politik niscaya akan berkurang jika tidak disorot media. Media memang memiliki kemampuan reproduksi citra yang dahsyat. Dalam reproduksi citra tersebut, beberapa aspek bisa dilebihkan dan dikurangi dari realitas aslinya (simulakra). Kemampuan mendramatisir ini pada gilirannya merupakan amunisi yang baik bagi para politisi, terutama menjelang pemilu.
Yang menjadi masalah bagi politisi adalah bagaimana ia menjalin hubungan muatualisme dengan pihak media; bagaimana ia membangun kesan tertentu dengan memilih latar belakang (pada televisi) saat bercakap-cakap dengan media; bagaimana ia mampu meyakinkan media bahwa ia dan aksinya adalah penting. Semua dilakukan dengan mengharapkan imbalan berupa publisitas.
Namun pada saat yang sama, media massa juga harus berpikir bahwa ia tidak diperkenankan mengadopsi kepentingan-kepentingan tersebut secara berlebihan. Salah-salah, ia akan menjadi bagian dari program politik sebuah golongan politik. Dan tak mudah memang membuat garis demarkasi apakah sebuah media prorakyat atau tengah ditunggangi oleh pihak-pihak tertentu yang juga mengklaim sebagai pejuang kerakyatan.
Contoh yang sering terjadi adalah ketika nasionalisme menjadi isu sentral dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI) sebagai tokohnya. Dari versi TNI, dirinyalah yang harus didukung karena ia sedang berjuang menghadapi Gerakan Aceh Merdeka (GAM), misalnya. Dan keinginan itu kerap dilakukan dengan memonopoli kebenaran. Meski bisa jadi versi TNI benar, tapi ketika ada upaya menghalangi versi lain untuk berbicara tentang siapa yang terkena tembakan atau berapa korban yang jatuh dalam kontak senjata antara TNI dan GAM, maka fakta menjadi tak bermakna.
Begitu juga dengan media yang biasanya melulu mengutip istilah-istilah yang dilontarkan oleh pejabat negara. Kita tentu masih ingat dengan istilah Gerombolan Pengacau Keamanan (GPK), Gerombolan Bersenjata, Teroris Islam, atau Fundamentalis. Ketika media memberitakan berbagai istilah ini terus menerus tanpa ada konfirmasi pada publik bahwa ia bersumber dari sebuah pihak, maka media sebenarnya telah termakan oleh praktek politik media yang sedang dijalankan oleh salah satu pihak, yaitu propaganda melalui labelling.
Tanpa sadar, sebuah media akan menjadi kaki tangan sebuah golongan. Ia “diperdaya” oleh sebuah golongan bahwa “ini” penting ketimbang “itu”. Dalam sebuah talk show di salah satu stasiun televisi, dibangun sebuah wacana bahwa operasi militer di Aceh tidak menyelesaikan persoalan. Makna kebenaran dari wacana ini memang bisa disetujui. Namun, diskusi tersebut tidak mempersoalkan bagaimana selayaknya memperlakukan kelompok sipil bersenjata di Aceh.
Sebuah golongan mendesakkan sebuah wacana bahwa ia penting untuk diangkat. Namun, pada saat yang sama, bisa dirasakan bahwa media tengah meniadakan bagian tertentu dari fakta besar. Sebab, dalam kasus Aceh, perang tersebut juga telah menyebabkan perpecahan dalam keluarga. Banyak kasus dimana si abang adalah GAM dan si Adik adalah TNI. Dan keduanya duduk bersama di meja makan. Keluarga sebagai penyangga awal dari struktur sosial telah berantakan. Dan tentu ini bukan hanya masalah operasi militer. Namun, media kerap telah dibingkai oleh sebuah konsep yang terstigmatisasi dengan salah satu pihak. Dan pada gilirannya, media tidak memediasi informasi secara benar. Pemberitaan menjadi tidak proporsional, dan kemanusiaan menjadi taruhannya. Dan tidak hanya itu saja, media pun akhirnya bersifat fasistis.

Media Berpolitik?
Pada sisi lain, kepentingan media akan informasi juga telah membuat celah tersendiri bagi orang-orang tertentu. Orang-orang tersebut adalah orang-orang yang begitu haus akan publisitas. Mereka dengan cerdas mengemas berbagai persitiwa sehingga ia bisa selalu muncul di berbagai media.
Orang seperti ini disebut oleh Bimo Nugroho, anggota Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) ketika berbicara dalam sebuah diskusi panel yang diselenggarakan oleh Keluarga Mahasiswa Jurnalistik di Universitas Islam Bandung, sebagai medialomania. Medialomania adalah penyakit doyan menjadi narasumber. Kecenderungan seperti ini biasanya terdapat pada politisi atau aktivis yang masanya sudah lewat namun tetap ingin berada di kancah politik.
Bagi orang seperti ini, media adalah kendaraan politik. Ia mampu membangun relasi dengan orang-orang internal media serta pandai membungkus peristiwa melalui komentar-komentar atau aksi-aksi yang sesuai dengan selera wartawan. Meski tak lagi signifikan bagi perkembangan kualitas politik, hubungan baiknya dengan media membuat media atau wartawan tak memiliki banyak pilihan, selain alasan bahwa wartawan malas mencari narasumber di lapangan.
Dan masih menurut Bimo Nugroho, orang yang “gila” publisitas itu kerap memberi fasilitas seperti konferensi pers hingga “amplop”. Ia memberikan dirinya sebagai teman akrab yang mudah dicari oleh wartawan. Dan media, tanpa sadar, telah terjebak menjadi media politik dari orang yang bersangkutan.
Sementara itu, dalam diskusi yang sama, Direktur Utama Radio Mora Bandung, Monang Siragih, mengatakan bahwa sinergi media dengan politik sebenarnya sah-sah saja. Maksudnya, tak ada larangan bahwa sebuah menjadi media politik. Setiap media membawa misi politiknya masing-masing. Yang utama adalah apakah tujuannya untuk kebenaran dan kesejahteraan rakyat atau tidak.
Monang Saragih berpendapat bahwa adalah hak setiap orang untuk berserikat dan menyampaikan gagasan-gagasannya. Kebebasan sudah datang untuk setiap orang dalam menyampaikan sikap politiknya. Dan tidak ada yang lebih baik dari media dalam menyalurkan hasrat tersebut. Secara sederhana, pendapat ini memang benar. Namun tatkala dipraktekkan, sulit baginya untuk keluar dari kepentingan diri sendiri demi kepentingan publik. Dalam konteks media yang turut bermain dalam politik praktis, Andreas Harsono, pendiri Majalah Pantau yang juga pembicara dalam diskusi panel tersebut, segera membantahnya.
Menurutnya, wartawan sebaiknya memisahkan diri dari dunia politik. Ia harus memilih antara kedua ranah tersebut. Alasannya, keduanya memiliki fungsi dan idealisasi yang berbeda. Keduanya tak dapat berjalan seiringan karena tak selamanya kepentingan sebuah golongan politik menyuarakan kepentingan yang lebih besar atau nasional; sementara media yang menjadi kendaraan politik beroperasi secara lebih besar.
Media yang berpolitik bisa menyesatkan para pembaca, pendengar, atau pemirsa. Sebab, pemilihan narasumber, pemilihan waktu atau ruang bagi suatu sosok atau peristiwa, serta keseimbangan pelaporan atas suatu fakta akan menjadi bias dengan sengaja. Yang menjadi lawan politik dari pemilik media dengan sendirinya akan tereliminir. Cara pandang politisi dan wartawan terhadap informasi berbeda.
J Pemasaran politik
Pemasaran politik bagi sebagian insan politik di Indonesia adalah hal baru. Dipicu oleh gelombang reformasi, membuat keterbukaan dan keran politik terbuka lebar-lebar. Pemasaran menjadi semakin penting ketika iklim persaingan mulai ada. Seperti kita ketahui zaman orde baru praktis tidak ada persaingan karena semua dikendalikan oleh Soeharto. Pemenang pemilu sudah ditentukan jauh sebelum pelaksanaan pemilu.
Di era reformasi semua orang bisa mendirikan partai dan persaingan antar partai semakin terbuka dalam memperebutkan konstituen. Apalagi dengan adanya pemilihan langsung presiden dan pilkada. Peran teori dan praktik pemasaran semakin diperlukan oleh partai politik dan individu yang berkecimpung di dunia politik.
Pemasaran selama ini sudah dikenal luas dan telah dipraktikkan dalam dunia industri. Bagaimana produk dari suatu perusahaan di perkenalkan dan didistribusikan ke konsumen, kemudian sebuah produk beri label merek lalu di positioningkan agar memiliki citra yang berbeda dengan pesaingnya untuk memenangkan pasar, itu semua dilakukan dengan menggunakan konsep pemasaran.
Lalu apa konsep pemasaran bisa dipraktikkan dalam bidang politik? Secara filosofis, konsep pemasaran bisa diaplikasikan di berbagai bidang termasuk di institusi non-profit seperti partai politik (Brownlie and Saren, 1991; Kotler and Zaman, 1976). Secara umum tidak terdapat perbedaan antara marketing di industri dan politik, kecuali dari sisi konteks subyek yang di pasarkan. Di industri, yang dipasarkan lebih jelas yaitu produk dan jasa, sementara di politik yang dipasarkan adalah orang beserta ide dan gagasan yang dia bawa.
Konsep pemasaran klasik yang bisa di adopsi adalah konsep STP (segmentation, targeting, and positioning). Segmentation adalah sudut pandang sebuah partai/kandidat dalam memandang populasi pemilih untuk kemudian dibagi dalam beberapa segmen pemilih. Targeting adalah menentukan segmen pemilih mana yang akan kita sasar sebagai target utama. Sementara positioning adalah bagaimana sebuah partai atau kandidat diposisikan di benak pemilih ketika dibandingkan dengan pesaingnya.
Konsep STP ini penting sebagai pedoman bagi sebuah partai/kandidat untuk menentukan karakter pemilih seperti apa yang akan menjadi lumbung suara, sekaligus sebagai bahan dasar penentuan program kampanye apa yang efektif dan efisien yang sesuai dengan hasrat dan keinginan pemilih.
Contoh menarik di lakukan oleh Partai Buruh di Inggris (Garet Smith, Andy Hirst, 2001). Mereka membagi pemilih menjadi tujuh segmen mulai dari pemilih yang konservatif, nasionalis sampai dengan yang sosialis. Dari tujuh segmen itu kemudian partai buruh melakukan profiling setiap segmen dan menentukan dua segmen utama yang akan dijadikan sebagai target pemilih utama.
Selain konsep STP, dalam konsep pemasaran kita mengenal konsep marketing mix yaitu 4P (product, price, promotion, place). Di politik, kita bisa terjemahkan konsep 4P tersebut sebagai berikut. Pertama adalah Product, produk yang kita jual harus memiliki kualitas yang baik. Karena itu ide, gagasan, atau kandidat yang kita jual ke konstituen juga harus berkualitas dan otentik.
Kedua soal price. Dalam konteks pemasaran perusahaan, price adalah value yang dibayarkan oleh konsumen dibanding manfaat yang diterima dari produk atau jasa yang mereka terima. Di politik, price bukanlah monetary value, karena tidak ada biaya yang dikeluarkan oleh konstituen ketika memilih partai atau kandidat tertentu. Price di sini lebih ke arah emotional value yang diberikan oleh konstituen kepada partai atau kandidat. Emotional value ini bisa berarti personal risk, ketika seorang menentukan memilih partai tertentu dibanding partai yang lain.
Ketiga, promotion. Promosi dan komunikasi barangkali sudah banyak dipraktikkan didunia politik. Ketika mendekati masa pemilu semua partai dan kandidat jor-joran mengkomunikasikan calonnya ke konstituen. Partai atau kandidat yang berkantong tebal lebih banyak menggunakan media TV dan media cetak untuk beriklan. Apakah iklan itu efektif atau tidak dalam menjangkau konstituen, itu lain soal.
Keempat, Place. Distribusi adalah kunci penting dalam pemasaran produk, ketersediaan produk di berbagai channel (pasar modern dan tradisional) menjamin konsumen dengan mudah menemukan produk kita. Lalu dalam konteks politik, siapa yang disebut sebagai channel itu? Saya berpendapat bahwa seharusnya kantor wilayah, cabang, anak cabang, dan ranting yang tersebar di berbagai wilayah perkotaan sampai ke pedesaan itulah yang disebut sebagai channel. Sayangnya, kantor-kantor partai itu tidak "hidup" sepanjang waktu, tapi hanya ramai ketika menjelang pemilu saja.
Di Indonesia sendiri kita melihat sekarang kebanyakan partai atau kandidat hanya berkutat dengan pencitraan jangka pendek saja dan belum sampai pada menjabarkan secara sistematis penyusunan konsep STP dan 4P partai atau kandidat tersebut. Kebanyakan ujug-ujug langsung bikin program kampanye yang tidak terstruktur dan terukur. Mereka terjebak pada unsur popularitas saja. Akibatnya, partai politik atau kandidat tersebut terjebak popularitas sesaat dan miskin gagasan dan ide untuk perbaikan masalah-masalah yang dihadapi masyarakat.
2.4. Pencitraan politik capres-cawapres dalam upaya menumbuhkan citra positif dan opini public menjelang Pileg 2014
Kampanye politik adalah sebuah upaya pencitraan, baik oleh partai politik, calon legislatif maupun calon presiden (capres) atau calon wakil presiden (cawapres). Seperti halnya sebuah iklan produk, maka kampanye politik juga menawarkan sesuatu yang bisa dijual pada diri kandidat atau parpol untuk dibeli oleh para calon pemilih.
Sesuatu yang dijual tentu menunjukkan nilai lebih, baik dari segi mutu maupun penampilan. Sehingga di dalam dunia marketing, pada pandangan pertama bungkus bisa sangat menentukan dibandingkan isi. Produk sehebat apa pun, dengan kualitas tinggi sekalipun bisa tidak laku kalau pembungkusnya tidak menarik atau berkesan tidak bisa dipercaya.
Pencitraan bermakna memberikan citra atau gambaran – dalam hal ini tentu saja yang baik-baik. Sebagai usaha untuk menarik hati para calon pemilih, para kandidat dan parpol akan memanfaatkan segala hal yang bisa menumbuhkan pandangan positif pada diri pemilih terhadap mereka, baik itu segi penampilan, gaya berbicara, kecerdasan dalam mengungkapkan pikiran, maupun kegiatan atau hasil kerja yang sudah ada.
Kalau seorang kandidat, capres misalnya, mempunyai semua hal yang bisa dijual, misalnya berpenampilan meyakinkan, berotak cerdas, berbicara lugas dan jelas, sekaligus menunjukkan hasil kerja yang baik, tentunya capres ini mempunyai nilai penuh di mata calon pemilihnya.
Untuk kandidat yang tidak memiliki “nilai lebih” yang dimiliki kandidat yang lain, tidak lantas menghujat dengan alasan, misalnya, kandidat lain tersebut mengandalkan sosok penampilan dan gaya yang di-jaim-jaim-kan. Kalau saya menilai, pendapat tersebut dilatarbelakangi oleh prasangka dan kecemburuan, sehingga berkesan “kekanak-kanakan” sekali.
Polling Merupakan Upaya Pencitraan
Secara tidak langsung, polling atau pengumpulan pendapat untuk pasangan capres-cawapres merupakan upaya pencitraan. Di luar indepensi lembaga survei yang melaksanakan survei, hasil survei bisa saja digolongkan dalam usaha pencitraan capres dan cawapres.  Kapabilitas sebuah lembaga survei tentunya bisa dinilai oleh para ahlinya, sedangkan masyarakat pada umumnya hanya bisa melihat dan menggunakan hasil survei tersebut.
Kalau ada tudingan bahwa sebuah lembaga survei merupakan “antek-antek” capres dan cawapres tertentu, itu pasti murni merupakan tuduhan penuh prasangka, karena secara ilmiah setiap lembaga survei bisa mempertanggungjawabkan pelaksanaan serta hasil polling yang dikerjakannya.
Alhir-akhir ini beberapa lembaga survei mengumumkan hasil polling pasangan capres-cawapres. Dari angka-angka yang ditampilkan, tampak persentase yang lebih besar (lebih dari 60%) mengarah pada satu pasangan calon. Pasangan calon yang merasa dirinya memenangkan polling, sah-sah saja mengaku sebagai “pemenang polling”, lalu berdasarkan hasil itu mengumumkan dirinya sebagai “calon pemenang” pemilu presiden nanti dalam satu putaran saja. Seandainya pasangan tersebut tidak memenangkan polling lebih dari 60% atau hanya memperoleh persentase seimbang dengan pasangan lain, tentunya pengakuan tersebut menjadi “aneh” dan bisa dianggap “tidak waras”.
Pengakuan kemenangan dalam satu putaran pemilu presiden ini pun sebenarnya sebuah bentuk pencitraan. Sama saja dengan pasangan lain yang mengaku kalau dia menjadi presiden maka ekonomi Indonesia akan bebas dari pengaruh asing, atau tingkat pertumbuhan ekonomi nasional akan sebesar 2 digit. Bukankah terdengar sama “sombongnya”? Itulah pencitraan. Di dalam pencitraan ada kebutuhan sebuah pengakuan akan kehormatan, martabat, kecerdasan, dan sebagainya yang ada pada diri orang yang dicitrakan. Hal tersebut dimaksud agar dia mendapatkan pengakuan dari masyarakat dan pengikutnya sehingga dirinya dipilih oleh rakyat sebagai presiden dan wakil presiden.

Opini Publik Menjelang Pileg 2014
Menjelang Pemilu 2014 banyak lembaga survei merilis hasil opini publik soal peluang capres dan cawapres lima tahun ke depan. Metodologi akademis sebagai alat ukur dinilai tepat untuk mengetahui bagaimana tingkat popularitas figur tertentu dan partai politik di mata masyarakat. Namun sayangnya, pemaparan hasil survei yang kerap dirilis telah menjerumus kepada upaya penggiringan opini publik. "Ada semacam hegemoni opini, bahwa figur tertentu adalah layak dan pasti menang, serta figur lainnya tidak layak dan pasti kalah," ujar pengamat politik Universitas Jayabaya, Igor Dirgantara kepada wartawan di Jakarta, Selasa (24/12).
Menurutnya, tidak ada satu pun lembaga survei di dalam rilisnya mau mengungkapkan asal muasal dana yang digunakan untuk melakukan penelitian. Artinya, kata Igor, kurangnya tranparansi lembaga survei terkait penerimaan dana survei masih menjadi masalah utama dalam independensi hasil survei itu sendiri.
"Mereka biasanya berlindung di balik prinsip anonimitasn di mana lembaga survei tidak bisa memberitahu kepada publik jika sang pemberi dana tidak mau disebutkan namanya. Hal ini mirip dengan profesi kedokteran yang melindungi kerahasiaan pasiennya," jelas Igor. Dia menjelaskan, penggiringan opini publik melalui hasil survei bisa dilakukan, mengingat adanya bandwagon effect atau pilihan dan dukungan publik akan mengarah kepada figur-figur tertentu yang selalu menempati posisi nomor satu dari hasil-hasil survei terakhir. Apalagi jika figur tersebut sampai disebut 'manusia setengah dewa', 'ratu adil' atau bahkan 'nabi'.
"Ada lembaga survei tertentu juga punya dua kaki. Kaki yang satu untuk melakukan survei yang benar, dan kaki yang lainnya adalah untuk pendampingan atau konsultan pemenangan. Dari sini sudah terlihat bahwa ada lembaga-lembaga survei yang tidak mengedepankan independensi," ungkap dosen FISIP Universitas Jayabaya itu.
Padahal, lanjut Igor, pertarungan dalam kontestasi Pemilu 2014 lebih merupakan pertarungan antara para elit politik di belakang layar, ketimbang hasil survei semata. Dengan kata lain, manuver, strategi, dan pilihan elit-elit partai sering lebih menentukan pasca Pemilu Legislatif atau jelang Pemilu Presiden yang akan menembus batas atas sekat-sekat hasil survei.
"Para elit partai sangat mungkin meluaskan dukungannya lewat praktek money politic, misalnya. Biasanya manuver elit politik ini sangat fleksibel, terbuka, dan variatif tergantung kebutuhan dan kepentingannnya," beber Igor.














BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
            Pencitraan bermakna memberikan citra atau gambaran – dalam hal ini tentu saja yang baik-baik. Sebagai usaha untuk menarik hati para calon pemilih, para kandidat dan parpol akan memanfaatkan segala hal yang bisa menumbuhkan pandangan positif pada diri pemilih terhadap mereka, baik itu segi penampilan, gaya berbicara, kecerdasan dalam mengungkapkan pikiran, maupun kegiatan atau hasil kerja yang sudah ada.
Kalau seorang kandidat, capres misalnya, mempunyai semua hal yang bisa dijual, misalnya berpenampilan meyakinkan, berotak cerdas, berbicara lugas dan jelas, sekaligus menunjukkan hasil kerja yang baik, tentunya capres ini mempunyai nilai penuh di mata calon pemilihnya.

3.2. Saran
            Menjelang Pemilu 2014 banyak lembaga survei merilis hasil opini publik soal peluang capres dan cawapres lima tahun ke depan. Metodologi akademis sebagai alat ukur dinilai tepat untuk mengetahui bagaimana tingkat popularitas figur tertentu dan partai politik di mata masyarakat.











DAFTAR PUSTAKA

http://senaru.wordpress.com/2009/06/07/ilmu-komunikasi




Tugas Ini Dibuat Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Komunikasi Politik

OLEH :
Armadiana Putri/120240019
Ilmu Komunikasi
III PR A

Description: Description: C:\Users\acer\Documents\MY DOC\bahan kuliah\LOGO UNIMAL.jpg

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS MALIKUSSALEH
ACEH UTARA
2013/2014
KATA PENGANTAR
            Puji dan syukur kita panjatkan kepada Allah swt, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah dan karunia-Nya. Tak lupa pula salawat salam saya sanjung sajikan ke pangkuan Nabi Besar Muhammad saw, sehingga saya dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Proses Pencitraan Politik”.
            Makalah ini saya susun berdasarkan sumber-sumber informasi yang mendukung sehingga dapat saya rangkum sedemikian rupa, agar lebih mudah dipahami oleh pembaca, maka makalah ini lebih banyak berisi poin-poin penting.
            Saya mengucapkan banyak terima kasih atas peran serta berbagai pihak yang telah membantu penyelesaian makalah ini. Saya menyadari akan adanya berbagai kekurangan dan berharap adanya kritikan dan saran dari pembaca demi kesempurnaan hasil kerja saya dimasa yang akan datang.

                                                                        Lhokseumawe, 9 januari 2014                                                                                                                        Hormat saya,

                                                                                     Penyusun











DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
2.1. Komunikasi politik sebagai studi ilmu komunikasi
2.2. Proses komunikasi politik
2.3. Komunikator, khalayak, pesan, media dan pemasaran politik
2.4. Pencitraan politik capres-cawapres dalam upaya menumbuhkan citra positif dan opini public menjelang Pileg 2014
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan          
3.2 Saran        
DAFTAR PUSTAKA         







BAB I
PENDAHULUAN

Kampanye politik adalah sebuah upaya pencitraan, baik oleh partai politik, calon legislatif maupun calon presiden (capres) atau calon wakil presiden (cawapres). Seperti halnya sebuah iklan produk, maka kampanye politik juga menawarkan sesuatu yang bisa dijual pada diri kandidat atau parpol untuk dibeli oleh para calon pemilih.
Sesuatu yang dijual tentu menunjukkan nilai lebih, baik dari segi mutu maupun penampilan. Sehingga di dalam dunia marketing, pada pandangan pertama bungkus bisa sangat menentukan dibandingkan isi. Produk sehebat apa pun, dengan kualitas tinggi sekalipun bisa tidak laku kalau pembungkusnya tidak menarik atau berkesan tidak bisa dipercaya.
Pencitraan bermakna memberikan citra atau gambaran – dalam hal ini tentu saja yang baik-baik. Sebagai usaha untuk menarik hati para calon pemilih, para kandidat dan parpol akan memanfaatkan segala hal yang bisa menumbuhkan pandangan positif pada diri pemilih terhadap mereka, baik itu segi penampilan, gaya berbicara, kecerdasan dalam mengungkapkan pikiran, maupun kegiatan atau hasil kerja yang sudah ada.
Di era reformasi semua orang bisa mendirikan partai dan persaingan antar partai semakin terbuka dalam memperebutkan konstituen. Apalagi dengan adanya pemilihan langsung presiden dan pilkada. Peran teori dan praktik pemasaran semakin diperlukan oleh partai politik dan individu yang berkecimpung di dunia politik.
Pemasaran selama ini sudah dikenal luas dan telah dipraktikkan dalam dunia industri. Bagaimana produk dari suatu perusahaan di perkenalkan dan didistribusikan ke konsumen, kemudian sebuah produk beri label merek lalu di positioningkan agar memiliki citra yang berbeda dengan pesaingnya untuk memenangkan pasar, itu semua dilakukan dengan menggunakan konsep pemasaran.









BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Komunikasi politik sebagai studi ilmu komunikasi
Sebagai suatu bidang kajian, studi komunikasi politik mencakup dua disiplin dalam ilmu-ilmu sosial, yaitu ilmu politik dan ilmu komunikasi. Dalam ilmu politik, istilah komunikasi politik mulai banyak disebut-sebut bermula dari tulisan Gabriel Almond yang berjudul The Politics of the Development Areas pada tahun 1960. Almond berpendapat bahwa komunikasi politik adalah salah satu fungsi yang selalu ada dalam dalam setiap sistem politik. Menurutnya, komunikasi politik bukanlah fungsi yang berdiri sendiri, akan tetapi merupakan proses penyampaian pesan yang terjadi pada saat keenam fungsi lainnya itu dijalankan. Dalam hal ini, Easton (dalam System Analysis of Political Life, 1965) memberi batasan sistem politik pada berbagai hal yang berkaitan dengan pembuatan dan pelaksanaan keputusan otoritatif.
Berbeda dengan ilmuwan politik yang lebih membahas komunikasi politik berkenaan dengan sistem politiknya, yaitu proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan otoritatif. Ilmuwan komunikasi membahas komunikasi politik berkenaan dengan unsur-unsur komunikasinya sebagai upaya merumuskan suatu komunikasi politik yang efektif (bandingkan dengan Maswadi Rauf, 1993).
Walaupun istilah komunikasi politik mulai populer pada tahun 1960, namun studi –studi tentang komunikasi yang memuat pesan-pesan politik telah ada semenjak lama. Misal: Studi propaganda pada perang dunia yang dilakukan Harold Lasswell pada tahun 1927; Studi tentang tingkah laku pemilih yang dilakukan Lazarfeld, Berelson dan Gaudet pada tahun 1940 di daerah Ohio, yang kemudian dipublikasikan dengan judulThe People’s Choice: How the Voter Makes Up His Mind in a Presidential Campaign; Studi perubahan attitude dalam proses komunikasi yang dilakukan Karl Hovland dkk, 1953, Communication and Persuasion: Psychological Studies of Opinion Change; dan sebagainya. Semua studi tersebut telah meletakan dasar –dasar yang kokoh bagi pengembangan studi komunikasi politik.

2.2. Proses komunikasi politik
Pada tahun 1948, ilmuan politik, Harold D. Laswell mengemukakan bahwa cara mudah untuk menggambarkan proses komunikasi adalah dengan menjawab pertanyaan- pertanyaan berikut ini:
-          Who
-          Says What (apa yang dibicarakan)
-          In which channel (menggunakan saluran apa)
-          To Whom (kepada siapa)
-          With what effect (bagaimana pengaruhnya).
Pertanyaan-pertanyaan tersebut digunakan untuk mengidentifikasi unsur-unsur yang biasa terdapat dalam semua komunikasi yaitu adanya:
-          Pengirim atau komunikator (sender) adalah pihak yang mengirimkan pesan kepada pihak lain.
-          Pesan (message) adalah isi atau maksud yang akan disampaikan oleh satu pihak kepada pihak lain.
-          Saluran (channel) adalah media dimana pesan disampaikan kepada komunikan. dalam komunikasi antar-pribadi (tatap muka) saluran dapat berupa udara yang mengalirkan getaran nada/suara.
-          Penerima atau komunikate (receiver) adalah pihak yang menerima pesan dari pihak lain
-          Umpan balik (feedback) adalah tanggapan dari penerimaan pesan atas isi pesan yang disampaikannya.
Menurut Dan Nimmo, Laswellian Formula merupakan formula paling sederhana yang bisa dipakai untuk memahami proses komunikasi politik. Namun Nimmo menilai masih ada dua kekurangan dari rumusan yang dikemukakan Laswell, yakni :
-          Kekurangan pertama terletak pada ” pernyataan dari seseorang kepada seseorang” yang menyiratkan proses komunikasi berlangsung linear. Dalam kenyataannya, komunikasi merupakan tindakan bersama yang yang berlangsung simultan dan silkular antara seseorang dengan orang lain.
-          Kekurangan kedua adalah penjelasan laswell yang menyiratkan bahwa komunikasi adalah struktur berunsur lima. Dalam kenyatannya tidak ada demarkasi atau perbatasan diantara bagian- bagian proses komunikasi.
Untuk mengatasi kekurangan ini, Nimmo mereformulasi rumusan Laswell menjadi berikut :
Laswell:
-          Siapa?
-          Mengatakan apa?
-          Kepada siapa?
-          Dengan saluran apa?
-          Dengan akibat apa?
Nimmo:
-          Siapa?
-          Mengatakan apa?
-          Kepada (dengan) siapa?
-          Dengan saluran (-saluran) apa?
-          Dengan akibat (- akibat) apa?


2.3. Komunikator, khalayak, pesan, media dan pemasaran politik
J Komunikator politik
Komunikator Politik adalah orang atau sekelompok orang yang menyampaikan pesan poltik yang biasa nya berkaitan dengan kekuasaan pemerintah, kebijakan pemerintah, aturan pemerintah, kewenangan pemerintah yang bertujuan untuk mempengaruhi khalayak baik itu verbal atau non verbal.
Menurut "Nimmo (1989)" mengklasifikasikan komunikator utama dalam politik sebagai berikut :
1. Politikus.
- Orang yang memegang jabatan pemerintah, tidak perduli apakah mereka dipilih, ditunjuk/ pejabat karir. Dan tidak mengindahkan apakah jabatan itu eksekutif, legislatif, yudikatif.
ex. Pejabat Eksekutif (presiden, menteri, gubernur, dsb).
      Pejabat Legislatif ( ketua MPR, ketua DPR/DPD, anggota DPR/DPD dsb)
      Pejabat Yudikatif (MA, MK, Jaksa Agung dsb)
2. Profesional.
-Orang-orang yang mencari nafkahnya dengan berkomunikasi, karna keahlian nya berkomunikasi.
a. Jurnalis --> Karyawan organisasi berita yang menhubungkan sumber berita dengan khalayak. Mereka bisa mengatur para politikus dengan publik umum, menghubungkan publik umum dengan para pemimpin dan membantu menempatkan masalah dan peristiwa pada agendadiskusi publik.
b. Promotor -->Orang yang dibayar untuk mengajukan kepentingan langganan tertentu. Yang termasuk ke dalam promotor adalah agen publisitas tokoh masyarakat yang penting, personel hubungan masyarakat pada organisasi swasta atau pemerintah, sekretaris pers kepresidenan dsb.
3. Aktivis
- Komunikator poltik utama yang bertindak sebagai saluran organisasional dan interpersonal. Ia cukup terlibat baik dalam politik dan semiprofesional dalam komunikasi politik. Mewakili tuntutan keanggotaan suatu organisasi, melaporkan keputusan dan kebijakan pemerintah kepada anggota suatu organisasi.
* Komunikator Politik yang baik :
1. Mengenal diri sendiri.
2. Kredibiltas (kepercayaan)
3. Daya tarik
4. Power (kekuatan)

J Khalayak politik
Dalam komunikasi politik,khalayak yang menerima pesan-pesan politik adalah khalayak politik. Jadi khalayak atau masyarakat luas atau publik yang menerima, memaknai dan terpengaruh dengan berita dan infoirmasi atau pesanyang mempunyai muatan politik dalam bentuk apapun adalah khalayak politik. Khalayak politik juga dapat berubah menjadi komunikator politik dalam situasi dan kepentingan tertentu, juga sebaliknya.
Khalayak politik adalah khalayak yang mempunyai perhatian terhadap perkembangan keadaan politik, memiliki informasi mengenai perkembnangan tersebut, dan mau aktif berpartisipasi, merupakan kebutuhan sistem politik.
Hennesy (dalam Nasution 1990), membedakan publik sebagai berikut:
-          Publik umum (general public);Publik umum terdiri dari hampir separuh penduduk, dalam kenyataannya jarang berkomunikasi dengan para pembuat kebijakan.
-          Publik yang penuh perhatian (the attentive public);Sedangkan publik attentive merupakan khalayak yang menaruh perhatian terhadap diskusi-diskusi antar elit politik dan seringkali termobilisasi untuk bertindak dalam kaitan suatu permasalahan politik.
-          Elit opini dan kebijakan (the leadership public).Di antara semuanya, elit opini dan kebijakan merupakan kalangan yang paling aktif minatnya dalam masalah kepemerintahan dan seringkali sebagai pelaku politik.
J Pesan politik
Pesan politik merupakan salah satu unsur penting dalam komunikasi politik. Pesan dapat diterjemahkan sebagai informasi yang dikirimkan oleh komunikator kepada komunikan. Selain itu pesan juga dapat diartikan sebagai pemikiran dan gagasan yang diungkapkan melalui bahasa. Dalam komunikasi antar manusia, pesan dapat berbentuk verbal atau non-verbal.
Ada beberapa jenis pesan dalam komunikasi politik. Lynda Lee Kaid mengidentifikasi tiga pesan, yakni melalui retorika politik, iklan politik dan debat kandidat. Sementara Dan Nimmo mengidentifikasikannya menjadi propaganda, periklanan dan retorika. Dalam penelitian ini penulis merumuskan pesan-pesan politik ke dalam tiga bentuk, yakni retorika, iklan politik, dan propaganda.
a. Retorika
Sambil mengutip Cicero, Bruce Gronbeck, dalam Lynda Lee Kaid, mengatakan bahwa the good man speaking well. Kalimat ini menjadi dasar bagi Gronbeck dalam memformulasikan teorinya mengenai retorika politik. Menurut Gronbeck, retorika adalah kemampuan berbicara di muka publik dengan berbagai teknik untuk bukan saja menyampaikan pesan, melainkan juga menanamkan pengaruh. Sementara retorika politik diterjemahkan sebagai cara yang dilakukan para komunikator politik dalam berinteraksi dengan publik. Pada dasarnya, menurut Gronbeck, tanpa memasukan kata “politik” pun retorika merupakan sebuah wacana yang sepenuhnya politis karena mengandung kepentingan politik.
James Boyd White melihat retorika sebagai domain yang luas dari pengalaman sosial dalam wujud bahasa. Berbekal teori social construction, White percaya bahwa budaya “disusun kembali” (reconstituted) melalui bahasa. Sebagaimana bahasa mempengaruhi manusia, manusia juga mempengaruhi bahasa. Bahasa pada dasarnya socially constructed, dan maknanya bergantung pada maksud dari manusia yang menggunakannya. Dan dari yang bersifat socially constructed, bahasa kemudian dapat juga menjadi alat merekonstruksi sosial. Retorika membuktikan hal itu sejak zaman Plato.
Dan Nimmo mendefinisikan retorika sebagai komunikasi dua arah, satu-kepada-satu, dalam arti satu orang atau lebih, yang saling berusaha untuk mempengaruhi pandangan satu sama lain melalui tindakan timbal balik.
Sebagai kesimpulan, dalam penelitian ini retorika didefinisikan sebagai komunikasi dua arah yang disampaikan di depan publik dengan berbagai teknik tertentu untuk melakukan transmisi pesan sekaligus menanamkan pengaruh. Retorika merupakan seni penggunaan bahasa untuk berkomunikasi secara efektif dan persuasif.
Sambil mengutip Aristoteles, Dan Nimmo mengklasifikasikan retorika menjadi tiga jenis, yakni retorika deliberatif, retorika forensik dan retorika demonstratif. Retorika deliberatif  dirancang untuk mempengaruhi orang-orang dalam urusan kebijakan pemerintah dengan menggambarkan keuntungan dan kerugian relatif dari cara-cara alternatif. Fokusnya adalah pada apa yang akan terjadi di masa depan jika suatu kebijakan tertentu diambil atau tidak diambil.
Retorika forensi menyangkut ruang yuridis. Fokusnya pada apa yang terjadi di masa lalu untuk menunjukan bersalah atau tidak bersalah, pertanggungjawaban, atau hukuman dan ganjaran. Setting-nya biasanya dilakukan di ruang sidang, meskipun terjadinya di tempat lain.
Retorika demonstratif  merupakan pidato epideiktik, wacana yang memuji dan menjatuhkan. Tujuannya adalah untuk memperkuat sifat baik dan sifat buruk seseorang, suatu lembaga atau gagasan. Kampanye politik biasanya menggunakan retorika demonstratif.
b. Iklan Politik
Selain retorika, pesan dalam komunikasi politik adalah iklan politik. Menurut Lynda Lee Kaid, sebagai sebuah bentuk komunikasi politik, iklan politik telah berkembang menjadi bentuk dominan dalam komunikasi antara para kandidat dan pemilih, terutama di Amerika. Dalam bentuknya yang berbeda, iklan politik juga telah menjadi sebuah bentuk komunikasi bagi negara-negara demokratis di seluruh dunia.
Iklan politik pada tabiatnya hampir sama dengan iklan komersial. Sepak terjangnya bagian dari fenomena bisnis modern. Tidak ada perusahaan (dalam hal ini parpol) yang ingin maju dan memenangkan kompetisi bisnis (dalam hal ini Pemilu) tanpa mengandalkan iklan politik.
Iklan politik, menurut Lynda, merupakan proses komunikasi dimana sebuah partai politik atau seorang kandidat “membeli” kesempatan untuk mengekspos dirinya kepada komunikan melalui saluran media massa untuk menyampaikan pesan-pesan politik dengan tujuan mampu memberikan efek berupa pengaruh dalam membentuk sikap politik, kepercayaan dan atau tingkah laku komunikan.
Ada dua hal penting dalam definisi di atas, yakni iklan politik dapat melakukan kontrol terhadap pesan dan penggunaan media massa sebagai saluran distribusi pesan. Pada yang pertama, seorang kandidat atau sebuah partai politik dapat mengemas, menentukan dan mengontrol pesan apa yang ingin disampaikan kepada audiens. Pada yang kedua, media kemudian juga mempunyai peran signifikan atas “evolusi makna” pada pesan politik yang ingin disampaikan kandidat atau partai politik.
Menurut Dan Nimmo, iklan politik merupakan komunikasi satu-kepada-banyak; iklan mendekati individu-individu tunggal, independen, terpisah dari kelompok apapun yang menjadi identifikasinya dalam masyarakat.
Iklan politik tidak lepas dari kepentingan yang mengarahkan dan mempengaruhi opini publik demi sebuah tujuan yang telah direncanakan oleh pembuat iklan. Opini publik yang kemudian terbangun melalui iklan diharapkan dapat mengarahkan masyarakat umum untuk membeli dan mengkonsumsi “produk” yang diiklankan.
Pertanyaannya kemudian adalah, apakah pesan yang disampaikan melalui iklan politik otomatis akan sampai kepada audiens sebagaimana harapan komunikator, dalam hal ini kandidat atau partai politik? Jawaban atas pertanyaan ini terumus atas tiga kondisi, yaitu: Pertama, bagaimana pesan itu dikemas sehingga efektif masuk ke dalam benak audiens dan memberikan efek yang kuat pada tingkah laku untuk memutuskan dalam memilih; Kedua, peran besar media yang mampu menentukan apakah komunikator akhirnya memiliki kesempatan untuk menyampaikan pesannya. Artinya, apakah komunikator diberikan cukup waktu oleh media untuk menayangkan iklan politiknya, seberapa besar biaya iklan itu, dan akan ditayangkan pada waktu yang seperti apa oleh media. Ketiga, memperhatikan regulasi atau Undang-Undang yang mengatur soal iklan politik, dalam hal ini Undang-Undang berkampanye. Ada aturan dan batasan bagi kandidat atau partai politik untuk menyampaikan pesan politiknya melalui iklan politik.
Pada umumnya penelitian mengenai iklan politik terbagi ke dalam dua kategori; penelitian mengenai konten iklan politik dan penelitian yang terfokus pada efek yang ditimbulkan oleh iklan politik. Di Indonesia sendiri penelitian tentang iklan politik lebih banyak pada konten iklan. Padahal, dalam pandangan penulis, penelitian mengenai efek iklan juga merupakan hal yang sangat signifikan.
Menurut Lynda Lee Kaid, penelitian atas efek iklan politik pada umumnya terbagi menjadi tiga kategori; efek pada tingkat pengetahuan pemilih (efek kognitif), efek pada persepsi pemilih terhadap kandidat (efek afektif), dan efek terhadap tingkah laku pemilih (efek behavior), termasuk efek dalam memutuskan untuk memilih.
Menurut Gati Gayatri, kampanye melalui iklan dalam media massa terbukti menimbulkan efek tertentu pada perilaku memilih yang ditunjukkan masyarakat dalam pemilu. Efek tersebut bisa berupa perubahan-perubahan opini, persepsi, sikap atau perilaku; bersifat mikro terjadi secara individual atau makro terjadi secara menyeluruh pada suatu sistem sosial; bersifat langsung atau kondisional, karena isu media tertentu saja atau secara umum; dan bersifat alterasi atau stabilisasi.
Iklan politik melalui media massa merupakan salah satu alternatif yang sering dipilih parpol dan kandidat dalam pelaksanaan kampanye pemilu. Meskipun harus mengeluarkan dana yang besar, parpol dan kandidat sering menggunakan iklan dalam media massa sebagai salah satu alat untuk memudahkan upaya pencapaian tujuan-tujuan politik mereka. Pertimbangan-pertimbangan yang menjadi landasan mereka memutuskan menggunakan media komunikasi politik itu biasanya adalah faktor keunggulan media massa dalam menjangkau khalayak yang sangat luas dan faktor peluang menyampaikan pesan-pesan politik dengan berbagai pilihan strategi komunikasi.

c. Propaganda
Teknik penyampaian pesan lain di samping retorika dan iklan politik adalah melalui Propaganda. Propaganda diakui sebagai salah satu teknik paling kuat dalam menanamkan pengaruh kepada massa.
Bernays, seperti dikutip Nurudin, mendefinisikan propaganda sebagai suatu usaha yang bersifat konsisten dan terus menerus untuk menciptakan atau membentuk peristiwa-peristiwa guna mempengaruhi hubungan politik terhadap suatu usaha atau kelompok.
Menurut  Jacques Ellul, seperti dikutip Dan Nimmo, propaganda adalah suatu alat yang digunakan oleh kelompok yang terorganisasi untuk menjangkau individu-individu yang secara psikologis dimanipulasi dan digabungkan ke dalam suatu organisasi.
Garth S. Jowett dan Victoria O'Donnell mendefinisikan propaganda sebagai sebuah usaha yang sengaja dan sistemik untuk membentuk persepsi, memanipulasi kognisi, dan mengatur tingkah laku untuk mendapatkan respons sesuai seperti yang diinginkan oleh propagandis.
Dengan demikian, pada dasarnya propaganda merupakan “metode” komunikasi yang dilakukan untuk memberikan pengaruh kepada massa melalui teknik-teknik tertentu. Umumnya propaganda lebih ditujukan pada emosi massa dibanding pada intelek massa. Karena itu seringkali propaganda tidak sekedar “mempengaruhi” namun juga “menggerakan” massa.
Nurudin mengidentifikasi enam komponen yang terdapat dalam propaganda; Pertama, dalam propaganda selalu ada pihak yang dengan sengaja melakukan proses penyebaran pesan untuk mengubah sikap dan tingkah laku sasaran propaganda. Pelaku penyebar pesan dalam propaganda disebut propagandis. Kedua, propaganda dilakukan secara terus menerus. Hal ini berbeda dengan kampanye yang umumnya dilakukan secara temporer. Ketiga, dalam propaganda terdapat proses penyampaian ide, kepercayaan atau bahkan doktrin. Keempat, propaganda memiliki tujuan untuk mengubah pendapat, sikap dan tingkah laku individu atau kelompok lain. Kelima, propaganda adalah usaha sadar; sebuah cara yang sistematis, prosedural dan terencana dengan matang. Keenam, untuk mencapai tujuannya, propaganda biasanya menggunakan media yang tepat, terutama media massa.
Propaganda dapat diklasifikasi menjadi tiga bentuk berdasarkan sumber dan asal pesan, yakni white propaganda, black propaganda dan grey propaganda. White propaganda (propaganda putih) berasal dari sebuah sumber terbuka yang dapat diidentifikasi, dan karakteristiknya adalah menggunakan metode persuasi, seperti yang biasa digunakan dalam teknik public relation. Black propaganda (propaganda hitam) berasal dari satu sumber saja, dan ini merupakan fakta bagi orang atau kelompok lain. Black propaganda digunakan untuk memojokan atau memberikan citra negatif kepada lawan politik. Grey propaganda (propaganda abu-abu) berasal dari sumber yang sulit dikenali. Tujuan utama grey propaganda adalah untuk membuat lawan percaya pada kesalahan propagandis dengan menggunakan argumen “straw” atau argumen yang sesungguhnya bersifat sebaliknya. Misalnya propagandis ingin membuat pemerintah mengatakan “A”, namun propagandis itu mengatakan “B” sambil menggiring pemerintah untuk meyakini bahwa “B” itu salah dan yang benar adalah “A”. Maka pemerintah akan berasumsi bahwa “A” adalah yang benar, sebagaimana tujuan propagandis.
J Media politik
Kesamaan utama antara politik dan media ada pada hubungannya dengan orang banyak. Kedua ranah tersebut membutuhkan dan dibutuhkan oleh masyarakat, yang anonim, dalam melakukan operasi-operasi rutinnya. Politik berurusan dengan ideologi, dan topik ideologi tentu saja menyangkut kehidupan sosial rakyat. Sementara media adalah jembatan antara topik atau tema yang diangkat dengan rakyat yang tersebar.
Secara teoritis, keduanya bisa berjalan dengan harmoni. Media massa bisa memediasi kegiatan politik dari para politisi kepada masyarakat. Dan sebaliknya, media juga bisa memediasi opini, tuntutan, atau reaksi masyarakat kepada para politisi. Media massa adalah ruang lalu lintas bagi segala macam ide-ide yang menyangkut kepentingan orang banyak.
Namun demikian, permasalahannya adalah, sejauh apa media bisa bertindak adil atas berbagai kepentingan yang dimediasinya? Ada begitu banyak kepentingan yang terjadi, dan bagaimana media massa menempatkannya secara proporsional? Apa yang menyebabkan sebuah kegiatan politik dari golongan tertentu lebih dikedepankan ketimbang kepentingan politik lain dari golongan yang lain juga?
Jawabannya terkadang tak begitu jelas. Dan belum ada Undang-Undang yang tertuang untuk itu. Belum ada aturan yang mengkriteriakan bahwa seseorang harus mendapat sekian kalimat untuk dimuat di media cetak, berapa menit di televisi, dan harus mendapat intonasi yang sama dari pewawancara dalam media televisi. Lebih dari itu, masalahnya bukan hanya terletak pada bagaimana bertindak adil, tetapi juga bagaimana gemuruh aktivitas politik itu bisa selaras dengan empat fungsi media massa, yakni memberikan informasi, memberikan pendidikan, memberikan hiburan, dan melakukan kontrol sosial.
Dalam menghadapi dunia politik, media massa tak jarang menemui kesulitan-kesulitan tersendiri. Di satu sisi, media massa dituntut untuk melaksanakan fungsinya agar pembaca, pemirsa, atau pendengar kian memiliki sikap kritis, kemandirian, dan kedalaman berpikir. Namun di sisi lain, pragmatisme ekonomi memaksa media mengadopsi logika politik praktis yang terpatri pada spektakuler, sensasional, superfisial, dan manipulatif.

Propaganda Politik
Politik dan media memang ibarat dua sisi dari satu mata uang. Media memerlukan politik sebagai makanan yang sehat. Media massa, khususnya harian dan elektronik, memerlukan karakteristik yang dimiliki oleh ranah politik praktis: hingar bingar, cepat, tak memerlukan kedalaman berpikir, dan terdiri dari tokoh-tokoh antagonis dan protagonis.
Politik juga memerlukan media massa sebagai wadah dalam mengelola kesan yang hendak diciptakan. Tidak ada gerakan sosial yang tidak memiliki divisi media. Apapun bidang yang digeluti oleh sebuah gerakan, semuanya memiliki perangkat yang bertugas untuk menciptakan atau berhubungan dengan media.
Dunia politik sadar betul bahwa tanpa kehadiran media, aksi politiknya menjadi tak berarti apa-apa. Bahkan menurut C. Sommerville, dalam bukunya Masyarakat Pandir atau Masyarakat Informasi (2000), kegiatan politik niscaya akan berkurang jika tidak disorot media. Media memang memiliki kemampuan reproduksi citra yang dahsyat. Dalam reproduksi citra tersebut, beberapa aspek bisa dilebihkan dan dikurangi dari realitas aslinya (simulakra). Kemampuan mendramatisir ini pada gilirannya merupakan amunisi yang baik bagi para politisi, terutama menjelang pemilu.
Yang menjadi masalah bagi politisi adalah bagaimana ia menjalin hubungan muatualisme dengan pihak media; bagaimana ia membangun kesan tertentu dengan memilih latar belakang (pada televisi) saat bercakap-cakap dengan media; bagaimana ia mampu meyakinkan media bahwa ia dan aksinya adalah penting. Semua dilakukan dengan mengharapkan imbalan berupa publisitas.
Namun pada saat yang sama, media massa juga harus berpikir bahwa ia tidak diperkenankan mengadopsi kepentingan-kepentingan tersebut secara berlebihan. Salah-salah, ia akan menjadi bagian dari program politik sebuah golongan politik. Dan tak mudah memang membuat garis demarkasi apakah sebuah media prorakyat atau tengah ditunggangi oleh pihak-pihak tertentu yang juga mengklaim sebagai pejuang kerakyatan.
Contoh yang sering terjadi adalah ketika nasionalisme menjadi isu sentral dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI) sebagai tokohnya. Dari versi TNI, dirinyalah yang harus didukung karena ia sedang berjuang menghadapi Gerakan Aceh Merdeka (GAM), misalnya. Dan keinginan itu kerap dilakukan dengan memonopoli kebenaran. Meski bisa jadi versi TNI benar, tapi ketika ada upaya menghalangi versi lain untuk berbicara tentang siapa yang terkena tembakan atau berapa korban yang jatuh dalam kontak senjata antara TNI dan GAM, maka fakta menjadi tak bermakna.
Begitu juga dengan media yang biasanya melulu mengutip istilah-istilah yang dilontarkan oleh pejabat negara. Kita tentu masih ingat dengan istilah Gerombolan Pengacau Keamanan (GPK), Gerombolan Bersenjata, Teroris Islam, atau Fundamentalis. Ketika media memberitakan berbagai istilah ini terus menerus tanpa ada konfirmasi pada publik bahwa ia bersumber dari sebuah pihak, maka media sebenarnya telah termakan oleh praktek politik media yang sedang dijalankan oleh salah satu pihak, yaitu propaganda melalui labelling.
Tanpa sadar, sebuah media akan menjadi kaki tangan sebuah golongan. Ia “diperdaya” oleh sebuah golongan bahwa “ini” penting ketimbang “itu”. Dalam sebuah talk show di salah satu stasiun televisi, dibangun sebuah wacana bahwa operasi militer di Aceh tidak menyelesaikan persoalan. Makna kebenaran dari wacana ini memang bisa disetujui. Namun, diskusi tersebut tidak mempersoalkan bagaimana selayaknya memperlakukan kelompok sipil bersenjata di Aceh.
Sebuah golongan mendesakkan sebuah wacana bahwa ia penting untuk diangkat. Namun, pada saat yang sama, bisa dirasakan bahwa media tengah meniadakan bagian tertentu dari fakta besar. Sebab, dalam kasus Aceh, perang tersebut juga telah menyebabkan perpecahan dalam keluarga. Banyak kasus dimana si abang adalah GAM dan si Adik adalah TNI. Dan keduanya duduk bersama di meja makan. Keluarga sebagai penyangga awal dari struktur sosial telah berantakan. Dan tentu ini bukan hanya masalah operasi militer. Namun, media kerap telah dibingkai oleh sebuah konsep yang terstigmatisasi dengan salah satu pihak. Dan pada gilirannya, media tidak memediasi informasi secara benar. Pemberitaan menjadi tidak proporsional, dan kemanusiaan menjadi taruhannya. Dan tidak hanya itu saja, media pun akhirnya bersifat fasistis.

Media Berpolitik?
Pada sisi lain, kepentingan media akan informasi juga telah membuat celah tersendiri bagi orang-orang tertentu. Orang-orang tersebut adalah orang-orang yang begitu haus akan publisitas. Mereka dengan cerdas mengemas berbagai persitiwa sehingga ia bisa selalu muncul di berbagai media.
Orang seperti ini disebut oleh Bimo Nugroho, anggota Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) ketika berbicara dalam sebuah diskusi panel yang diselenggarakan oleh Keluarga Mahasiswa Jurnalistik di Universitas Islam Bandung, sebagai medialomania. Medialomania adalah penyakit doyan menjadi narasumber. Kecenderungan seperti ini biasanya terdapat pada politisi atau aktivis yang masanya sudah lewat namun tetap ingin berada di kancah politik.
Bagi orang seperti ini, media adalah kendaraan politik. Ia mampu membangun relasi dengan orang-orang internal media serta pandai membungkus peristiwa melalui komentar-komentar atau aksi-aksi yang sesuai dengan selera wartawan. Meski tak lagi signifikan bagi perkembangan kualitas politik, hubungan baiknya dengan media membuat media atau wartawan tak memiliki banyak pilihan, selain alasan bahwa wartawan malas mencari narasumber di lapangan.
Dan masih menurut Bimo Nugroho, orang yang “gila” publisitas itu kerap memberi fasilitas seperti konferensi pers hingga “amplop”. Ia memberikan dirinya sebagai teman akrab yang mudah dicari oleh wartawan. Dan media, tanpa sadar, telah terjebak menjadi media politik dari orang yang bersangkutan.
Sementara itu, dalam diskusi yang sama, Direktur Utama Radio Mora Bandung, Monang Siragih, mengatakan bahwa sinergi media dengan politik sebenarnya sah-sah saja. Maksudnya, tak ada larangan bahwa sebuah menjadi media politik. Setiap media membawa misi politiknya masing-masing. Yang utama adalah apakah tujuannya untuk kebenaran dan kesejahteraan rakyat atau tidak.
Monang Saragih berpendapat bahwa adalah hak setiap orang untuk berserikat dan menyampaikan gagasan-gagasannya. Kebebasan sudah datang untuk setiap orang dalam menyampaikan sikap politiknya. Dan tidak ada yang lebih baik dari media dalam menyalurkan hasrat tersebut. Secara sederhana, pendapat ini memang benar. Namun tatkala dipraktekkan, sulit baginya untuk keluar dari kepentingan diri sendiri demi kepentingan publik. Dalam konteks media yang turut bermain dalam politik praktis, Andreas Harsono, pendiri Majalah Pantau yang juga pembicara dalam diskusi panel tersebut, segera membantahnya.
Menurutnya, wartawan sebaiknya memisahkan diri dari dunia politik. Ia harus memilih antara kedua ranah tersebut. Alasannya, keduanya memiliki fungsi dan idealisasi yang berbeda. Keduanya tak dapat berjalan seiringan karena tak selamanya kepentingan sebuah golongan politik menyuarakan kepentingan yang lebih besar atau nasional; sementara media yang menjadi kendaraan politik beroperasi secara lebih besar.
Media yang berpolitik bisa menyesatkan para pembaca, pendengar, atau pemirsa. Sebab, pemilihan narasumber, pemilihan waktu atau ruang bagi suatu sosok atau peristiwa, serta keseimbangan pelaporan atas suatu fakta akan menjadi bias dengan sengaja. Yang menjadi lawan politik dari pemilik media dengan sendirinya akan tereliminir. Cara pandang politisi dan wartawan terhadap informasi berbeda.
J Pemasaran politik
Pemasaran politik bagi sebagian insan politik di Indonesia adalah hal baru. Dipicu oleh gelombang reformasi, membuat keterbukaan dan keran politik terbuka lebar-lebar. Pemasaran menjadi semakin penting ketika iklim persaingan mulai ada. Seperti kita ketahui zaman orde baru praktis tidak ada persaingan karena semua dikendalikan oleh Soeharto. Pemenang pemilu sudah ditentukan jauh sebelum pelaksanaan pemilu.
Di era reformasi semua orang bisa mendirikan partai dan persaingan antar partai semakin terbuka dalam memperebutkan konstituen. Apalagi dengan adanya pemilihan langsung presiden dan pilkada. Peran teori dan praktik pemasaran semakin diperlukan oleh partai politik dan individu yang berkecimpung di dunia politik.
Pemasaran selama ini sudah dikenal luas dan telah dipraktikkan dalam dunia industri. Bagaimana produk dari suatu perusahaan di perkenalkan dan didistribusikan ke konsumen, kemudian sebuah produk beri label merek lalu di positioningkan agar memiliki citra yang berbeda dengan pesaingnya untuk memenangkan pasar, itu semua dilakukan dengan menggunakan konsep pemasaran.
Lalu apa konsep pemasaran bisa dipraktikkan dalam bidang politik? Secara filosofis, konsep pemasaran bisa diaplikasikan di berbagai bidang termasuk di institusi non-profit seperti partai politik (Brownlie and Saren, 1991; Kotler and Zaman, 1976). Secara umum tidak terdapat perbedaan antara marketing di industri dan politik, kecuali dari sisi konteks subyek yang di pasarkan. Di industri, yang dipasarkan lebih jelas yaitu produk dan jasa, sementara di politik yang dipasarkan adalah orang beserta ide dan gagasan yang dia bawa.
Konsep pemasaran klasik yang bisa di adopsi adalah konsep STP (segmentation, targeting, and positioning). Segmentation adalah sudut pandang sebuah partai/kandidat dalam memandang populasi pemilih untuk kemudian dibagi dalam beberapa segmen pemilih. Targeting adalah menentukan segmen pemilih mana yang akan kita sasar sebagai target utama. Sementara positioning adalah bagaimana sebuah partai atau kandidat diposisikan di benak pemilih ketika dibandingkan dengan pesaingnya.
Konsep STP ini penting sebagai pedoman bagi sebuah partai/kandidat untuk menentukan karakter pemilih seperti apa yang akan menjadi lumbung suara, sekaligus sebagai bahan dasar penentuan program kampanye apa yang efektif dan efisien yang sesuai dengan hasrat dan keinginan pemilih.
Contoh menarik di lakukan oleh Partai Buruh di Inggris (Garet Smith, Andy Hirst, 2001). Mereka membagi pemilih menjadi tujuh segmen mulai dari pemilih yang konservatif, nasionalis sampai dengan yang sosialis. Dari tujuh segmen itu kemudian partai buruh melakukan profiling setiap segmen dan menentukan dua segmen utama yang akan dijadikan sebagai target pemilih utama.
Selain konsep STP, dalam konsep pemasaran kita mengenal konsep marketing mix yaitu 4P (product, price, promotion, place). Di politik, kita bisa terjemahkan konsep 4P tersebut sebagai berikut. Pertama adalah Product, produk yang kita jual harus memiliki kualitas yang baik. Karena itu ide, gagasan, atau kandidat yang kita jual ke konstituen juga harus berkualitas dan otentik.
Kedua soal price. Dalam konteks pemasaran perusahaan, price adalah value yang dibayarkan oleh konsumen dibanding manfaat yang diterima dari produk atau jasa yang mereka terima. Di politik, price bukanlah monetary value, karena tidak ada biaya yang dikeluarkan oleh konstituen ketika memilih partai atau kandidat tertentu. Price di sini lebih ke arah emotional value yang diberikan oleh konstituen kepada partai atau kandidat. Emotional value ini bisa berarti personal risk, ketika seorang menentukan memilih partai tertentu dibanding partai yang lain.
Ketiga, promotion. Promosi dan komunikasi barangkali sudah banyak dipraktikkan didunia politik. Ketika mendekati masa pemilu semua partai dan kandidat jor-joran mengkomunikasikan calonnya ke konstituen. Partai atau kandidat yang berkantong tebal lebih banyak menggunakan media TV dan media cetak untuk beriklan. Apakah iklan itu efektif atau tidak dalam menjangkau konstituen, itu lain soal.
Keempat, Place. Distribusi adalah kunci penting dalam pemasaran produk, ketersediaan produk di berbagai channel (pasar modern dan tradisional) menjamin konsumen dengan mudah menemukan produk kita. Lalu dalam konteks politik, siapa yang disebut sebagai channel itu? Saya berpendapat bahwa seharusnya kantor wilayah, cabang, anak cabang, dan ranting yang tersebar di berbagai wilayah perkotaan sampai ke pedesaan itulah yang disebut sebagai channel. Sayangnya, kantor-kantor partai itu tidak "hidup" sepanjang waktu, tapi hanya ramai ketika menjelang pemilu saja.
Di Indonesia sendiri kita melihat sekarang kebanyakan partai atau kandidat hanya berkutat dengan pencitraan jangka pendek saja dan belum sampai pada menjabarkan secara sistematis penyusunan konsep STP dan 4P partai atau kandidat tersebut. Kebanyakan ujug-ujug langsung bikin program kampanye yang tidak terstruktur dan terukur. Mereka terjebak pada unsur popularitas saja. Akibatnya, partai politik atau kandidat tersebut terjebak popularitas sesaat dan miskin gagasan dan ide untuk perbaikan masalah-masalah yang dihadapi masyarakat.
2.4. Pencitraan politik capres-cawapres dalam upaya menumbuhkan citra positif dan opini public menjelang Pileg 2014
Kampanye politik adalah sebuah upaya pencitraan, baik oleh partai politik, calon legislatif maupun calon presiden (capres) atau calon wakil presiden (cawapres). Seperti halnya sebuah iklan produk, maka kampanye politik juga menawarkan sesuatu yang bisa dijual pada diri kandidat atau parpol untuk dibeli oleh para calon pemilih.
Sesuatu yang dijual tentu menunjukkan nilai lebih, baik dari segi mutu maupun penampilan. Sehingga di dalam dunia marketing, pada pandangan pertama bungkus bisa sangat menentukan dibandingkan isi. Produk sehebat apa pun, dengan kualitas tinggi sekalipun bisa tidak laku kalau pembungkusnya tidak menarik atau berkesan tidak bisa dipercaya.
Pencitraan bermakna memberikan citra atau gambaran – dalam hal ini tentu saja yang baik-baik. Sebagai usaha untuk menarik hati para calon pemilih, para kandidat dan parpol akan memanfaatkan segala hal yang bisa menumbuhkan pandangan positif pada diri pemilih terhadap mereka, baik itu segi penampilan, gaya berbicara, kecerdasan dalam mengungkapkan pikiran, maupun kegiatan atau hasil kerja yang sudah ada.
Kalau seorang kandidat, capres misalnya, mempunyai semua hal yang bisa dijual, misalnya berpenampilan meyakinkan, berotak cerdas, berbicara lugas dan jelas, sekaligus menunjukkan hasil kerja yang baik, tentunya capres ini mempunyai nilai penuh di mata calon pemilihnya.
Untuk kandidat yang tidak memiliki “nilai lebih” yang dimiliki kandidat yang lain, tidak lantas menghujat dengan alasan, misalnya, kandidat lain tersebut mengandalkan sosok penampilan dan gaya yang di-jaim-jaim-kan. Kalau saya menilai, pendapat tersebut dilatarbelakangi oleh prasangka dan kecemburuan, sehingga berkesan “kekanak-kanakan” sekali.
Polling Merupakan Upaya Pencitraan
Secara tidak langsung, polling atau pengumpulan pendapat untuk pasangan capres-cawapres merupakan upaya pencitraan. Di luar indepensi lembaga survei yang melaksanakan survei, hasil survei bisa saja digolongkan dalam usaha pencitraan capres dan cawapres.  Kapabilitas sebuah lembaga survei tentunya bisa dinilai oleh para ahlinya, sedangkan masyarakat pada umumnya hanya bisa melihat dan menggunakan hasil survei tersebut.
Kalau ada tudingan bahwa sebuah lembaga survei merupakan “antek-antek” capres dan cawapres tertentu, itu pasti murni merupakan tuduhan penuh prasangka, karena secara ilmiah setiap lembaga survei bisa mempertanggungjawabkan pelaksanaan serta hasil polling yang dikerjakannya.
Alhir-akhir ini beberapa lembaga survei mengumumkan hasil polling pasangan capres-cawapres. Dari angka-angka yang ditampilkan, tampak persentase yang lebih besar (lebih dari 60%) mengarah pada satu pasangan calon. Pasangan calon yang merasa dirinya memenangkan polling, sah-sah saja mengaku sebagai “pemenang polling”, lalu berdasarkan hasil itu mengumumkan dirinya sebagai “calon pemenang” pemilu presiden nanti dalam satu putaran saja. Seandainya pasangan tersebut tidak memenangkan polling lebih dari 60% atau hanya memperoleh persentase seimbang dengan pasangan lain, tentunya pengakuan tersebut menjadi “aneh” dan bisa dianggap “tidak waras”.
Pengakuan kemenangan dalam satu putaran pemilu presiden ini pun sebenarnya sebuah bentuk pencitraan. Sama saja dengan pasangan lain yang mengaku kalau dia menjadi presiden maka ekonomi Indonesia akan bebas dari pengaruh asing, atau tingkat pertumbuhan ekonomi nasional akan sebesar 2 digit. Bukankah terdengar sama “sombongnya”? Itulah pencitraan. Di dalam pencitraan ada kebutuhan sebuah pengakuan akan kehormatan, martabat, kecerdasan, dan sebagainya yang ada pada diri orang yang dicitrakan. Hal tersebut dimaksud agar dia mendapatkan pengakuan dari masyarakat dan pengikutnya sehingga dirinya dipilih oleh rakyat sebagai presiden dan wakil presiden.

Opini Publik Menjelang Pileg 2014
Menjelang Pemilu 2014 banyak lembaga survei merilis hasil opini publik soal peluang capres dan cawapres lima tahun ke depan. Metodologi akademis sebagai alat ukur dinilai tepat untuk mengetahui bagaimana tingkat popularitas figur tertentu dan partai politik di mata masyarakat. Namun sayangnya, pemaparan hasil survei yang kerap dirilis telah menjerumus kepada upaya penggiringan opini publik. "Ada semacam hegemoni opini, bahwa figur tertentu adalah layak dan pasti menang, serta figur lainnya tidak layak dan pasti kalah," ujar pengamat politik Universitas Jayabaya, Igor Dirgantara kepada wartawan di Jakarta, Selasa (24/12).
Menurutnya, tidak ada satu pun lembaga survei di dalam rilisnya mau mengungkapkan asal muasal dana yang digunakan untuk melakukan penelitian. Artinya, kata Igor, kurangnya tranparansi lembaga survei terkait penerimaan dana survei masih menjadi masalah utama dalam independensi hasil survei itu sendiri.
"Mereka biasanya berlindung di balik prinsip anonimitasn di mana lembaga survei tidak bisa memberitahu kepada publik jika sang pemberi dana tidak mau disebutkan namanya. Hal ini mirip dengan profesi kedokteran yang melindungi kerahasiaan pasiennya," jelas Igor. Dia menjelaskan, penggiringan opini publik melalui hasil survei bisa dilakukan, mengingat adanya bandwagon effect atau pilihan dan dukungan publik akan mengarah kepada figur-figur tertentu yang selalu menempati posisi nomor satu dari hasil-hasil survei terakhir. Apalagi jika figur tersebut sampai disebut 'manusia setengah dewa', 'ratu adil' atau bahkan 'nabi'.
"Ada lembaga survei tertentu juga punya dua kaki. Kaki yang satu untuk melakukan survei yang benar, dan kaki yang lainnya adalah untuk pendampingan atau konsultan pemenangan. Dari sini sudah terlihat bahwa ada lembaga-lembaga survei yang tidak mengedepankan independensi," ungkap dosen FISIP Universitas Jayabaya itu.
Padahal, lanjut Igor, pertarungan dalam kontestasi Pemilu 2014 lebih merupakan pertarungan antara para elit politik di belakang layar, ketimbang hasil survei semata. Dengan kata lain, manuver, strategi, dan pilihan elit-elit partai sering lebih menentukan pasca Pemilu Legislatif atau jelang Pemilu Presiden yang akan menembus batas atas sekat-sekat hasil survei.
"Para elit partai sangat mungkin meluaskan dukungannya lewat praktek money politic, misalnya. Biasanya manuver elit politik ini sangat fleksibel, terbuka, dan variatif tergantung kebutuhan dan kepentingannnya," beber Igor.














BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
            Pencitraan bermakna memberikan citra atau gambaran – dalam hal ini tentu saja yang baik-baik. Sebagai usaha untuk menarik hati para calon pemilih, para kandidat dan parpol akan memanfaatkan segala hal yang bisa menumbuhkan pandangan positif pada diri pemilih terhadap mereka, baik itu segi penampilan, gaya berbicara, kecerdasan dalam mengungkapkan pikiran, maupun kegiatan atau hasil kerja yang sudah ada.
Kalau seorang kandidat, capres misalnya, mempunyai semua hal yang bisa dijual, misalnya berpenampilan meyakinkan, berotak cerdas, berbicara lugas dan jelas, sekaligus menunjukkan hasil kerja yang baik, tentunya capres ini mempunyai nilai penuh di mata calon pemilihnya.

3.2. Saran
            Menjelang Pemilu 2014 banyak lembaga survei merilis hasil opini publik soal peluang capres dan cawapres lima tahun ke depan. Metodologi akademis sebagai alat ukur dinilai tepat untuk mengetahui bagaimana tingkat popularitas figur tertentu dan partai politik di mata masyarakat.











DAFTAR PUSTAKA

http://senaru.wordpress.com/2009/06/07/ilmu-komunikasi