Proses
pencitraan politik
Tugas Ini Dibuat Untuk Memenuhi Tugas Mata
Kuliah Komunikasi Politik
OLEH :
Armadiana Putri/120240019
Ilmu Komunikasi
III PR A
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS MALIKUSSALEH
ACEH UTARA
2013/2014
KATA
PENGANTAR
Puji
dan syukur kita panjatkan kepada Allah swt, yang telah melimpahkan rahmat,
hidayah dan karunia-Nya. Tak lupa pula salawat salam saya sanjung sajikan ke
pangkuan Nabi Besar Muhammad saw, sehingga saya dapat menyelesaikan makalah
yang berjudul “Proses Pencitraan Politik”.
Makalah
ini saya susun berdasarkan sumber-sumber informasi yang mendukung sehingga
dapat saya rangkum sedemikian rupa, agar lebih mudah dipahami oleh pembaca,
maka makalah ini lebih banyak berisi poin-poin penting.
Saya
mengucapkan banyak terima kasih atas peran serta berbagai pihak yang telah
membantu penyelesaian makalah ini. Saya menyadari akan adanya berbagai
kekurangan dan berharap adanya kritikan dan saran dari pembaca demi
kesempurnaan hasil kerja saya dimasa yang akan datang.
Lhokseumawe,
9 januari 2014 Hormat saya,
Penyusun
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR
ISI
BAB
I PENDAHULUAN
BAB
II PEMBAHASAN
2.1. Komunikasi politik sebagai studi ilmu
komunikasi
2.2. Proses komunikasi politik
2.3. Komunikator, khalayak, pesan, media dan
pemasaran politik
2.4. Pencitraan politik capres-cawapres dalam upaya
menumbuhkan citra positif dan opini public menjelang Pileg 2014
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
DAFTAR
PUSTAKA
BAB
I
PENDAHULUAN
Kampanye politik adalah sebuah
upaya pencitraan, baik oleh partai politik, calon legislatif maupun calon
presiden (capres) atau calon wakil presiden (cawapres). Seperti halnya sebuah
iklan produk,
maka kampanye politik juga menawarkan sesuatu yang bisa dijual pada diri
kandidat atau parpol
untuk dibeli oleh para calon pemilih.
Sesuatu yang dijual tentu
menunjukkan nilai lebih, baik dari segi mutu maupun penampilan. Sehingga di
dalam dunia marketing, pada pandangan pertama bungkus bisa sangat menentukan
dibandingkan isi. Produk sehebat apa pun, dengan kualitas tinggi sekalipun bisa
tidak laku kalau pembungkusnya tidak menarik atau berkesan tidak bisa
dipercaya.
Pencitraan bermakna memberikan
citra atau gambaran – dalam hal ini tentu saja yang baik-baik. Sebagai usaha
untuk menarik hati para calon pemilih, para kandidat dan parpol akan
memanfaatkan segala hal yang bisa menumbuhkan pandangan positif pada diri
pemilih terhadap mereka, baik itu segi penampilan, gaya berbicara, kecerdasan
dalam mengungkapkan pikiran, maupun kegiatan atau hasil kerja yang sudah ada.
Di era reformasi semua orang bisa
mendirikan partai dan persaingan antar partai semakin terbuka dalam
memperebutkan konstituen. Apalagi dengan adanya pemilihan langsung presiden dan
pilkada. Peran teori dan praktik pemasaran semakin diperlukan oleh partai
politik dan individu yang berkecimpung di dunia politik.
Pemasaran selama ini sudah
dikenal luas dan telah dipraktikkan dalam dunia industri. Bagaimana produk dari
suatu perusahaan di perkenalkan dan didistribusikan ke konsumen, kemudian
sebuah produk beri label merek lalu di positioningkan agar memiliki citra yang
berbeda dengan pesaingnya untuk memenangkan pasar, itu semua dilakukan dengan
menggunakan konsep pemasaran.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1. Komunikasi politik
sebagai studi ilmu komunikasi
Sebagai suatu bidang kajian, studi komunikasi politik
mencakup dua disiplin dalam ilmu-ilmu sosial, yaitu ilmu politik dan ilmu
komunikasi. Dalam ilmu politik, istilah komunikasi politik mulai banyak
disebut-sebut bermula dari tulisan Gabriel Almond yang berjudul The
Politics of the Development Areas pada tahun 1960. Almond
berpendapat bahwa komunikasi politik adalah salah satu fungsi yang selalu ada
dalam dalam setiap sistem politik. Menurutnya, komunikasi politik bukanlah
fungsi yang berdiri sendiri, akan tetapi merupakan proses penyampaian pesan
yang terjadi pada saat keenam fungsi lainnya itu dijalankan. Dalam hal ini,
Easton (dalam System Analysis of Political Life, 1965) memberi
batasan sistem politik pada berbagai hal yang berkaitan dengan pembuatan dan
pelaksanaan keputusan otoritatif.
Berbeda dengan ilmuwan politik yang lebih membahas
komunikasi politik berkenaan dengan sistem politiknya, yaitu proses
pembuatan dan pelaksanaan keputusan otoritatif. Ilmuwan komunikasi membahas
komunikasi politik berkenaan dengan unsur-unsur komunikasinya sebagai upaya
merumuskan suatu komunikasi politik yang efektif (bandingkan dengan Maswadi
Rauf, 1993).
Walaupun istilah komunikasi politik mulai populer pada tahun
1960, namun studi –studi tentang komunikasi yang memuat pesan-pesan
politik telah ada semenjak lama. Misal: Studi propaganda pada perang dunia
yang dilakukan Harold Lasswell pada tahun 1927; Studi tentang tingkah laku
pemilih yang dilakukan Lazarfeld, Berelson dan Gaudet pada tahun 1940 di daerah
Ohio, yang kemudian dipublikasikan dengan judulThe People’s Choice: How the
Voter Makes Up His Mind in a Presidential Campaign; Studi
perubahan attitude dalam proses komunikasi yang dilakukan
Karl Hovland dkk, 1953, Communication and Persuasion: Psychological
Studies of Opinion Change; dan sebagainya. Semua studi tersebut telah
meletakan dasar –dasar yang kokoh bagi pengembangan studi komunikasi politik.
2.2. Proses
komunikasi politik
Pada tahun 1948,
ilmuan politik, Harold D. Laswell mengemukakan bahwa cara mudah untuk
menggambarkan proses komunikasi adalah dengan menjawab pertanyaan- pertanyaan
berikut ini:
-
Who
-
Says
What (apa yang dibicarakan)
-
In
which channel (menggunakan saluran apa)
-
To
Whom (kepada siapa)
-
With
what effect (bagaimana pengaruhnya).
Pertanyaan-pertanyaan
tersebut digunakan untuk mengidentifikasi unsur-unsur yang biasa terdapat dalam
semua komunikasi yaitu adanya:
-
Pengirim
atau komunikator (sender) adalah pihak yang mengirimkan pesan kepada pihak
lain.
-
Pesan
(message) adalah isi atau maksud yang akan disampaikan oleh satu pihak kepada
pihak lain.
-
Saluran
(channel) adalah media dimana pesan disampaikan kepada komunikan. dalam
komunikasi antar-pribadi (tatap muka) saluran dapat berupa udara yang mengalirkan
getaran nada/suara.
-
Penerima
atau komunikate (receiver) adalah pihak yang menerima pesan dari pihak lain
-
Umpan
balik (feedback) adalah tanggapan dari penerimaan pesan atas isi pesan yang
disampaikannya.
Menurut Dan
Nimmo, Laswellian Formula merupakan formula paling sederhana yang bisa dipakai
untuk memahami proses komunikasi politik. Namun Nimmo menilai masih ada dua
kekurangan dari rumusan yang dikemukakan Laswell, yakni :
-
Kekurangan
pertama terletak pada ” pernyataan dari seseorang kepada seseorang” yang
menyiratkan proses komunikasi berlangsung linear. Dalam kenyataannya,
komunikasi merupakan tindakan bersama yang yang berlangsung simultan dan
silkular antara seseorang dengan orang lain.
-
Kekurangan
kedua adalah penjelasan laswell yang menyiratkan bahwa komunikasi adalah
struktur berunsur lima. Dalam kenyatannya tidak ada demarkasi atau perbatasan
diantara bagian- bagian proses komunikasi.
Untuk mengatasi
kekurangan ini, Nimmo mereformulasi rumusan Laswell menjadi berikut :
Laswell:
-
Siapa?
-
Mengatakan
apa?
-
Kepada
siapa?
-
Dengan
saluran apa?
-
Dengan
akibat apa?
Nimmo:
-
Siapa?
-
Mengatakan
apa?
-
Kepada
(dengan) siapa?
-
Dengan
saluran (-saluran) apa?
-
Dengan
akibat (- akibat) apa?
2.3.
Komunikator, khalayak, pesan, media dan pemasaran politik
J Komunikator politik
Komunikator
Politik adalah orang atau sekelompok orang yang menyampaikan pesan poltik yang
biasa nya berkaitan dengan kekuasaan pemerintah, kebijakan pemerintah, aturan
pemerintah, kewenangan pemerintah yang bertujuan untuk mempengaruhi khalayak
baik itu verbal atau non verbal.
Menurut "Nimmo
(1989)" mengklasifikasikan komunikator utama dalam politik sebagai berikut
:
1. Politikus.
- Orang yang memegang
jabatan pemerintah, tidak perduli apakah mereka dipilih, ditunjuk/ pejabat
karir. Dan tidak mengindahkan apakah jabatan itu eksekutif, legislatif,
yudikatif.
ex. Pejabat Eksekutif
(presiden, menteri, gubernur, dsb).
Pejabat Legislatif ( ketua MPR, ketua
DPR/DPD, anggota DPR/DPD dsb)
Pejabat Yudikatif (MA, MK, Jaksa Agung
dsb)
2. Profesional.
-Orang-orang yang
mencari nafkahnya dengan berkomunikasi, karna keahlian nya berkomunikasi.
a. Jurnalis -->
Karyawan organisasi berita yang menhubungkan sumber berita dengan khalayak.
Mereka bisa mengatur para politikus dengan publik umum, menghubungkan publik
umum dengan para pemimpin dan membantu menempatkan masalah dan peristiwa pada
agendadiskusi publik.
b. Promotor -->Orang
yang dibayar untuk mengajukan kepentingan langganan tertentu. Yang termasuk ke
dalam promotor adalah agen publisitas tokoh masyarakat yang penting, personel
hubungan masyarakat pada organisasi swasta atau pemerintah, sekretaris pers
kepresidenan dsb.
3. Aktivis
- Komunikator poltik
utama yang bertindak sebagai saluran organisasional dan interpersonal. Ia cukup
terlibat baik dalam politik dan semiprofesional dalam komunikasi politik.
Mewakili tuntutan keanggotaan suatu organisasi, melaporkan keputusan dan
kebijakan pemerintah kepada anggota suatu organisasi.
* Komunikator Politik
yang baik :
1.
Mengenal diri sendiri.
2.
Kredibiltas (kepercayaan)
3.
Daya tarik
4.
Power (kekuatan)
J Khalayak politik
Dalam
komunikasi politik,khalayak yang menerima pesan-pesan politik adalah khalayak
politik. Jadi khalayak atau masyarakat luas atau publik yang menerima, memaknai
dan terpengaruh dengan berita dan infoirmasi atau pesanyang mempunyai muatan
politik dalam bentuk apapun adalah khalayak politik. Khalayak politik juga
dapat berubah menjadi komunikator politik dalam situasi dan kepentingan
tertentu, juga sebaliknya.
Khalayak
politik adalah khalayak yang mempunyai perhatian terhadap perkembangan keadaan
politik, memiliki informasi mengenai perkembnangan tersebut, dan mau aktif
berpartisipasi, merupakan kebutuhan sistem politik.
Hennesy (dalam Nasution
1990), membedakan publik sebagai berikut:
-
Publik umum (general public);Publik umum
terdiri dari hampir separuh penduduk, dalam kenyataannya jarang berkomunikasi
dengan para pembuat kebijakan.
-
Publik yang penuh perhatian (the
attentive public);Sedangkan publik attentive merupakan khalayak yang menaruh
perhatian terhadap diskusi-diskusi antar elit politik dan seringkali
termobilisasi untuk bertindak dalam kaitan suatu permasalahan politik.
-
Elit opini dan kebijakan (the leadership
public).Di antara semuanya, elit opini dan kebijakan merupakan kalangan yang
paling aktif minatnya dalam masalah kepemerintahan dan seringkali sebagai
pelaku politik.
J Pesan politik
Pesan
politik merupakan salah satu unsur penting dalam komunikasi politik. Pesan
dapat diterjemahkan sebagai informasi yang dikirimkan oleh komunikator kepada
komunikan. Selain itu pesan juga dapat diartikan sebagai pemikiran dan gagasan
yang diungkapkan melalui bahasa. Dalam komunikasi antar manusia, pesan dapat
berbentuk verbal atau non-verbal.
Ada
beberapa jenis pesan dalam komunikasi politik. Lynda Lee Kaid mengidentifikasi
tiga pesan, yakni melalui retorika politik, iklan politik dan debat kandidat. Sementara
Dan Nimmo mengidentifikasikannya menjadi propaganda, periklanan dan retorika.
Dalam penelitian ini penulis merumuskan pesan-pesan politik ke dalam tiga
bentuk, yakni retorika, iklan politik, dan propaganda.
a. Retorika
Sambil
mengutip Cicero, Bruce Gronbeck, dalam Lynda Lee Kaid, mengatakan bahwa the
good man speaking well. Kalimat ini menjadi dasar bagi Gronbeck dalam
memformulasikan teorinya mengenai retorika politik. Menurut Gronbeck, retorika
adalah kemampuan berbicara di muka publik dengan berbagai teknik untuk bukan
saja menyampaikan pesan, melainkan juga menanamkan pengaruh. Sementara retorika
politik diterjemahkan sebagai cara yang dilakukan para komunikator politik
dalam berinteraksi dengan publik. Pada dasarnya, menurut Gronbeck, tanpa
memasukan kata “politik” pun retorika merupakan sebuah wacana yang sepenuhnya
politis karena mengandung kepentingan politik.
James
Boyd White melihat retorika sebagai domain yang luas dari pengalaman sosial
dalam wujud bahasa. Berbekal teori social construction, White percaya bahwa
budaya “disusun kembali” (reconstituted) melalui bahasa. Sebagaimana bahasa
mempengaruhi manusia, manusia juga mempengaruhi bahasa. Bahasa pada dasarnya
socially constructed, dan maknanya bergantung pada maksud dari manusia yang
menggunakannya. Dan dari yang bersifat socially constructed, bahasa kemudian
dapat juga menjadi alat merekonstruksi sosial. Retorika membuktikan hal itu
sejak zaman Plato.
Dan
Nimmo mendefinisikan retorika sebagai komunikasi dua arah, satu-kepada-satu,
dalam arti satu orang atau lebih, yang saling berusaha untuk mempengaruhi
pandangan satu sama lain melalui tindakan timbal balik.
Sebagai
kesimpulan, dalam penelitian ini retorika didefinisikan sebagai komunikasi dua
arah yang disampaikan di depan publik dengan berbagai teknik tertentu untuk
melakukan transmisi pesan sekaligus menanamkan pengaruh. Retorika merupakan
seni penggunaan bahasa untuk berkomunikasi secara efektif dan persuasif.
Sambil
mengutip Aristoteles, Dan Nimmo mengklasifikasikan retorika menjadi tiga jenis,
yakni retorika deliberatif, retorika forensik dan retorika demonstratif.
Retorika deliberatif dirancang untuk
mempengaruhi orang-orang dalam urusan kebijakan pemerintah dengan menggambarkan
keuntungan dan kerugian relatif dari cara-cara alternatif. Fokusnya adalah pada
apa yang akan terjadi di masa depan jika suatu kebijakan tertentu diambil atau
tidak diambil.
Retorika
forensi menyangkut ruang yuridis. Fokusnya pada apa yang terjadi di masa lalu
untuk menunjukan bersalah atau tidak bersalah, pertanggungjawaban, atau hukuman
dan ganjaran. Setting-nya biasanya dilakukan di ruang sidang, meskipun
terjadinya di tempat lain.
Retorika
demonstratif merupakan pidato
epideiktik, wacana yang memuji dan menjatuhkan. Tujuannya adalah untuk
memperkuat sifat baik dan sifat buruk seseorang, suatu lembaga atau gagasan.
Kampanye politik biasanya menggunakan retorika demonstratif.
b. Iklan Politik
Selain
retorika, pesan dalam komunikasi politik adalah iklan politik. Menurut Lynda
Lee Kaid, sebagai sebuah bentuk komunikasi politik, iklan politik telah
berkembang menjadi bentuk dominan dalam komunikasi antara para kandidat dan
pemilih, terutama di Amerika. Dalam bentuknya yang berbeda, iklan politik juga
telah menjadi sebuah bentuk komunikasi bagi negara-negara demokratis di seluruh
dunia.
Iklan
politik pada tabiatnya hampir sama dengan iklan komersial. Sepak terjangnya
bagian dari fenomena bisnis modern. Tidak ada perusahaan (dalam hal ini parpol)
yang ingin maju dan memenangkan kompetisi bisnis (dalam hal ini Pemilu) tanpa
mengandalkan iklan politik.
Iklan
politik, menurut Lynda, merupakan proses komunikasi dimana sebuah partai
politik atau seorang kandidat “membeli” kesempatan untuk mengekspos dirinya
kepada komunikan melalui saluran media massa untuk menyampaikan pesan-pesan
politik dengan tujuan mampu memberikan efek berupa pengaruh dalam membentuk
sikap politik, kepercayaan dan atau tingkah laku komunikan.
Ada
dua hal penting dalam definisi di atas, yakni iklan politik dapat melakukan
kontrol terhadap pesan dan penggunaan media massa sebagai saluran distribusi
pesan. Pada yang pertama, seorang kandidat atau sebuah partai politik dapat
mengemas, menentukan dan mengontrol pesan apa yang ingin disampaikan kepada
audiens. Pada yang kedua, media kemudian juga mempunyai peran signifikan atas
“evolusi makna” pada pesan politik yang ingin disampaikan kandidat atau partai
politik.
Menurut
Dan Nimmo, iklan politik merupakan komunikasi satu-kepada-banyak; iklan
mendekati individu-individu tunggal, independen, terpisah dari kelompok apapun
yang menjadi identifikasinya dalam masyarakat.
Iklan
politik tidak lepas dari kepentingan yang mengarahkan dan mempengaruhi opini
publik demi sebuah tujuan yang telah direncanakan oleh pembuat iklan. Opini
publik yang kemudian terbangun melalui iklan diharapkan dapat mengarahkan
masyarakat umum untuk membeli dan mengkonsumsi “produk” yang diiklankan.
Pertanyaannya
kemudian adalah, apakah pesan yang disampaikan melalui iklan politik otomatis
akan sampai kepada audiens sebagaimana harapan komunikator, dalam hal ini
kandidat atau partai politik? Jawaban atas pertanyaan ini terumus atas tiga
kondisi, yaitu: Pertama, bagaimana pesan itu dikemas sehingga efektif masuk ke
dalam benak audiens dan memberikan efek yang kuat pada tingkah laku untuk
memutuskan dalam memilih; Kedua, peran besar media yang mampu menentukan apakah
komunikator akhirnya memiliki kesempatan untuk menyampaikan pesannya. Artinya,
apakah komunikator diberikan cukup waktu oleh media untuk menayangkan iklan
politiknya, seberapa besar biaya iklan itu, dan akan ditayangkan pada waktu
yang seperti apa oleh media. Ketiga, memperhatikan regulasi atau Undang-Undang
yang mengatur soal iklan politik, dalam hal ini Undang-Undang berkampanye. Ada
aturan dan batasan bagi kandidat atau partai politik untuk menyampaikan pesan
politiknya melalui iklan politik.
Pada
umumnya penelitian mengenai iklan politik terbagi ke dalam dua kategori;
penelitian mengenai konten iklan politik dan penelitian yang terfokus pada efek
yang ditimbulkan oleh iklan politik. Di Indonesia sendiri penelitian tentang
iklan politik lebih banyak pada konten iklan. Padahal, dalam pandangan penulis,
penelitian mengenai efek iklan juga merupakan hal yang sangat signifikan.
Menurut
Lynda Lee Kaid, penelitian atas efek iklan politik pada umumnya terbagi menjadi
tiga kategori; efek pada tingkat pengetahuan pemilih (efek kognitif), efek pada
persepsi pemilih terhadap kandidat (efek afektif), dan efek terhadap tingkah
laku pemilih (efek behavior), termasuk efek dalam memutuskan untuk memilih.
Menurut
Gati Gayatri, kampanye melalui iklan dalam media massa terbukti menimbulkan
efek tertentu pada perilaku memilih yang ditunjukkan masyarakat dalam pemilu.
Efek tersebut bisa berupa perubahan-perubahan opini, persepsi, sikap atau
perilaku; bersifat mikro terjadi secara individual atau makro terjadi secara
menyeluruh pada suatu sistem sosial; bersifat langsung atau kondisional, karena
isu media tertentu saja atau secara umum; dan bersifat alterasi atau
stabilisasi.
Iklan
politik melalui media massa merupakan salah satu alternatif yang sering dipilih
parpol dan kandidat dalam pelaksanaan kampanye pemilu. Meskipun harus mengeluarkan
dana yang besar, parpol dan kandidat sering menggunakan iklan dalam media massa
sebagai salah satu alat untuk memudahkan upaya pencapaian tujuan-tujuan politik
mereka. Pertimbangan-pertimbangan yang menjadi landasan mereka memutuskan
menggunakan media komunikasi politik itu biasanya adalah faktor keunggulan
media massa dalam menjangkau khalayak yang sangat luas dan faktor peluang
menyampaikan pesan-pesan politik dengan berbagai pilihan strategi komunikasi.
c. Propaganda
Teknik
penyampaian pesan lain di samping retorika dan iklan politik adalah melalui
Propaganda. Propaganda diakui sebagai salah satu teknik paling kuat dalam
menanamkan pengaruh kepada massa.
Bernays,
seperti dikutip Nurudin, mendefinisikan propaganda sebagai suatu usaha yang
bersifat konsisten dan terus menerus untuk menciptakan atau membentuk
peristiwa-peristiwa guna mempengaruhi hubungan politik terhadap suatu usaha
atau kelompok.
Menurut Jacques Ellul, seperti dikutip Dan Nimmo,
propaganda adalah suatu alat yang digunakan oleh kelompok yang terorganisasi
untuk menjangkau individu-individu yang secara psikologis dimanipulasi dan
digabungkan ke dalam suatu organisasi.
Garth
S. Jowett dan Victoria O'Donnell mendefinisikan propaganda sebagai sebuah usaha
yang sengaja dan sistemik untuk membentuk persepsi, memanipulasi kognisi, dan
mengatur tingkah laku untuk mendapatkan respons sesuai seperti yang diinginkan
oleh propagandis.
Dengan
demikian, pada dasarnya propaganda merupakan “metode” komunikasi yang dilakukan
untuk memberikan pengaruh kepada massa melalui teknik-teknik tertentu. Umumnya
propaganda lebih ditujukan pada emosi massa dibanding pada intelek massa.
Karena itu seringkali propaganda tidak sekedar “mempengaruhi” namun juga
“menggerakan” massa.
Nurudin
mengidentifikasi enam komponen yang terdapat dalam propaganda; Pertama, dalam
propaganda selalu ada pihak yang dengan sengaja melakukan proses penyebaran
pesan untuk mengubah sikap dan tingkah laku sasaran propaganda. Pelaku penyebar
pesan dalam propaganda disebut propagandis. Kedua, propaganda dilakukan secara
terus menerus. Hal ini berbeda dengan kampanye yang umumnya dilakukan secara
temporer. Ketiga, dalam propaganda terdapat proses penyampaian ide, kepercayaan
atau bahkan doktrin. Keempat, propaganda memiliki tujuan untuk mengubah
pendapat, sikap dan tingkah laku individu atau kelompok lain. Kelima,
propaganda adalah usaha sadar; sebuah cara yang sistematis, prosedural dan
terencana dengan matang. Keenam, untuk mencapai tujuannya, propaganda biasanya
menggunakan media yang tepat, terutama media massa.
Propaganda
dapat diklasifikasi menjadi tiga bentuk berdasarkan sumber dan asal pesan,
yakni white propaganda, black propaganda dan grey propaganda. White propaganda
(propaganda putih) berasal dari sebuah sumber terbuka yang dapat diidentifikasi,
dan karakteristiknya adalah menggunakan metode persuasi, seperti yang biasa
digunakan dalam teknik public relation. Black propaganda (propaganda hitam)
berasal dari satu sumber saja, dan ini merupakan fakta bagi orang atau kelompok
lain. Black propaganda digunakan untuk memojokan atau memberikan citra negatif
kepada lawan politik. Grey propaganda (propaganda abu-abu) berasal dari sumber
yang sulit dikenali. Tujuan utama grey propaganda adalah untuk membuat lawan
percaya pada kesalahan propagandis dengan menggunakan argumen “straw” atau
argumen yang sesungguhnya bersifat sebaliknya. Misalnya propagandis ingin
membuat pemerintah mengatakan “A”, namun propagandis itu mengatakan “B” sambil
menggiring pemerintah untuk meyakini bahwa “B” itu salah dan yang benar adalah
“A”. Maka pemerintah akan berasumsi bahwa “A” adalah yang benar, sebagaimana
tujuan propagandis.
J Media politik
Kesamaan
utama antara politik dan media ada pada hubungannya dengan orang banyak. Kedua
ranah tersebut membutuhkan dan dibutuhkan oleh masyarakat, yang anonim, dalam
melakukan operasi-operasi rutinnya. Politik berurusan dengan ideologi, dan
topik ideologi tentu saja menyangkut kehidupan sosial rakyat. Sementara media
adalah jembatan antara topik atau tema yang diangkat dengan rakyat yang
tersebar.
Secara
teoritis, keduanya bisa berjalan dengan harmoni. Media massa bisa memediasi
kegiatan politik dari para politisi kepada masyarakat. Dan sebaliknya, media
juga bisa memediasi opini, tuntutan, atau reaksi masyarakat kepada para politisi.
Media massa adalah ruang lalu lintas bagi segala macam ide-ide yang menyangkut
kepentingan orang banyak.
Namun
demikian, permasalahannya adalah, sejauh apa media bisa bertindak adil atas
berbagai kepentingan yang dimediasinya? Ada begitu banyak kepentingan yang
terjadi, dan bagaimana media massa menempatkannya secara proporsional? Apa yang
menyebabkan sebuah kegiatan politik dari golongan tertentu lebih dikedepankan
ketimbang kepentingan politik lain dari golongan yang lain juga?
Jawabannya
terkadang tak begitu jelas. Dan belum ada Undang-Undang yang tertuang untuk
itu. Belum ada aturan yang mengkriteriakan bahwa seseorang harus mendapat
sekian kalimat untuk dimuat di media cetak, berapa menit di televisi, dan harus
mendapat intonasi yang sama dari pewawancara dalam media televisi. Lebih dari
itu, masalahnya bukan hanya terletak pada bagaimana bertindak adil, tetapi juga
bagaimana gemuruh aktivitas politik itu bisa selaras dengan empat fungsi media massa,
yakni memberikan informasi, memberikan pendidikan, memberikan hiburan, dan
melakukan kontrol sosial.
Dalam
menghadapi dunia politik, media massa tak jarang menemui kesulitan-kesulitan
tersendiri. Di satu sisi, media massa dituntut untuk melaksanakan fungsinya
agar pembaca, pemirsa, atau pendengar kian memiliki sikap kritis, kemandirian,
dan kedalaman berpikir. Namun di sisi lain, pragmatisme ekonomi memaksa media
mengadopsi logika politik praktis yang terpatri pada spektakuler, sensasional,
superfisial, dan manipulatif.
Propaganda Politik
Politik
dan media memang ibarat dua sisi dari satu mata uang. Media memerlukan politik
sebagai makanan yang sehat. Media massa, khususnya harian dan elektronik,
memerlukan karakteristik yang dimiliki oleh ranah politik praktis: hingar
bingar, cepat, tak memerlukan kedalaman berpikir, dan terdiri dari tokoh-tokoh
antagonis dan protagonis.
Politik
juga memerlukan media massa sebagai wadah dalam mengelola kesan yang hendak
diciptakan. Tidak ada gerakan sosial yang tidak memiliki divisi media. Apapun
bidang yang digeluti oleh sebuah gerakan, semuanya memiliki perangkat yang
bertugas untuk menciptakan atau berhubungan dengan media.
Dunia
politik sadar betul bahwa tanpa kehadiran media, aksi politiknya menjadi tak
berarti apa-apa. Bahkan menurut C. Sommerville, dalam bukunya Masyarakat Pandir
atau Masyarakat Informasi (2000), kegiatan politik niscaya akan berkurang jika
tidak disorot media. Media memang memiliki kemampuan reproduksi citra yang
dahsyat. Dalam reproduksi citra tersebut, beberapa aspek bisa dilebihkan dan
dikurangi dari realitas aslinya (simulakra). Kemampuan mendramatisir ini pada
gilirannya merupakan amunisi yang baik bagi para politisi, terutama menjelang
pemilu.
Yang
menjadi masalah bagi politisi adalah bagaimana ia menjalin hubungan muatualisme
dengan pihak media; bagaimana ia membangun kesan tertentu dengan memilih latar
belakang (pada televisi) saat bercakap-cakap dengan media; bagaimana ia mampu
meyakinkan media bahwa ia dan aksinya adalah penting. Semua dilakukan dengan
mengharapkan imbalan berupa publisitas.
Namun
pada saat yang sama, media massa juga harus berpikir bahwa ia tidak
diperkenankan mengadopsi kepentingan-kepentingan tersebut secara berlebihan.
Salah-salah, ia akan menjadi bagian dari program politik sebuah golongan
politik. Dan tak mudah memang membuat garis demarkasi apakah sebuah media
prorakyat atau tengah ditunggangi oleh pihak-pihak tertentu yang juga mengklaim
sebagai pejuang kerakyatan.
Contoh
yang sering terjadi adalah ketika nasionalisme menjadi isu sentral dengan
Tentara Nasional Indonesia (TNI) sebagai tokohnya. Dari versi TNI, dirinyalah
yang harus didukung karena ia sedang berjuang menghadapi Gerakan Aceh Merdeka
(GAM), misalnya. Dan keinginan itu kerap dilakukan dengan memonopoli kebenaran.
Meski bisa jadi versi TNI benar, tapi ketika ada upaya menghalangi versi lain
untuk berbicara tentang siapa yang terkena tembakan atau berapa korban yang
jatuh dalam kontak senjata antara TNI dan GAM, maka fakta menjadi tak bermakna.
Begitu
juga dengan media yang biasanya melulu mengutip istilah-istilah yang
dilontarkan oleh pejabat negara. Kita tentu masih ingat dengan istilah
Gerombolan Pengacau Keamanan (GPK), Gerombolan Bersenjata, Teroris Islam, atau
Fundamentalis. Ketika media memberitakan berbagai istilah ini terus menerus
tanpa ada konfirmasi pada publik bahwa ia bersumber dari sebuah pihak, maka
media sebenarnya telah termakan oleh praktek politik media yang sedang
dijalankan oleh salah satu pihak, yaitu propaganda melalui labelling.
Tanpa
sadar, sebuah media akan menjadi kaki tangan sebuah golongan. Ia “diperdaya”
oleh sebuah golongan bahwa “ini” penting ketimbang “itu”. Dalam sebuah talk
show di salah satu stasiun televisi, dibangun sebuah wacana bahwa operasi
militer di Aceh tidak menyelesaikan persoalan. Makna kebenaran dari wacana ini memang
bisa disetujui. Namun, diskusi tersebut tidak mempersoalkan bagaimana
selayaknya memperlakukan kelompok sipil bersenjata di Aceh.
Sebuah
golongan mendesakkan sebuah wacana bahwa ia penting untuk diangkat. Namun, pada
saat yang sama, bisa dirasakan bahwa media tengah meniadakan bagian tertentu
dari fakta besar. Sebab, dalam kasus Aceh, perang tersebut juga telah
menyebabkan perpecahan dalam keluarga. Banyak kasus dimana si abang adalah GAM
dan si Adik adalah TNI. Dan keduanya duduk bersama di meja makan. Keluarga
sebagai penyangga awal dari struktur sosial telah berantakan. Dan tentu ini
bukan hanya masalah operasi militer. Namun, media kerap telah dibingkai oleh
sebuah konsep yang terstigmatisasi dengan salah satu pihak. Dan pada
gilirannya, media tidak memediasi informasi secara benar. Pemberitaan menjadi
tidak proporsional, dan kemanusiaan menjadi taruhannya. Dan tidak hanya itu
saja, media pun akhirnya bersifat fasistis.
Media Berpolitik?
Pada
sisi lain, kepentingan media akan informasi juga telah membuat celah tersendiri
bagi orang-orang tertentu. Orang-orang tersebut adalah orang-orang yang begitu
haus akan publisitas. Mereka dengan cerdas mengemas berbagai persitiwa sehingga
ia bisa selalu muncul di berbagai media.
Orang
seperti ini disebut oleh Bimo Nugroho, anggota Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)
ketika berbicara dalam sebuah diskusi panel yang diselenggarakan oleh Keluarga
Mahasiswa Jurnalistik di Universitas Islam Bandung, sebagai medialomania.
Medialomania adalah penyakit doyan menjadi narasumber. Kecenderungan seperti
ini biasanya terdapat pada politisi atau aktivis yang masanya sudah lewat namun
tetap ingin berada di kancah politik.
Bagi
orang seperti ini, media adalah kendaraan politik. Ia mampu membangun relasi
dengan orang-orang internal media serta pandai membungkus peristiwa melalui
komentar-komentar atau aksi-aksi yang sesuai dengan selera wartawan. Meski tak
lagi signifikan bagi perkembangan kualitas politik, hubungan baiknya dengan
media membuat media atau wartawan tak memiliki banyak pilihan, selain alasan
bahwa wartawan malas mencari narasumber di lapangan.
Dan
masih menurut Bimo Nugroho, orang yang “gila” publisitas itu kerap memberi
fasilitas seperti konferensi pers hingga “amplop”. Ia memberikan dirinya
sebagai teman akrab yang mudah dicari oleh wartawan. Dan media, tanpa sadar,
telah terjebak menjadi media politik dari orang yang bersangkutan.
Sementara
itu, dalam diskusi yang sama, Direktur Utama Radio Mora Bandung, Monang
Siragih, mengatakan bahwa sinergi media dengan politik sebenarnya sah-sah saja.
Maksudnya, tak ada larangan bahwa sebuah menjadi media politik. Setiap media
membawa misi politiknya masing-masing. Yang utama adalah apakah tujuannya untuk
kebenaran dan kesejahteraan rakyat atau tidak.
Monang
Saragih berpendapat bahwa adalah hak setiap orang untuk berserikat dan
menyampaikan gagasan-gagasannya. Kebebasan sudah datang untuk setiap orang
dalam menyampaikan sikap politiknya. Dan tidak ada yang lebih baik dari media
dalam menyalurkan hasrat tersebut. Secara sederhana, pendapat ini memang benar.
Namun tatkala dipraktekkan, sulit baginya untuk keluar dari kepentingan diri
sendiri demi kepentingan publik. Dalam konteks media yang turut bermain dalam
politik praktis, Andreas Harsono, pendiri Majalah Pantau yang juga pembicara
dalam diskusi panel tersebut, segera membantahnya.
Menurutnya,
wartawan sebaiknya memisahkan diri dari dunia politik. Ia harus memilih antara
kedua ranah tersebut. Alasannya, keduanya memiliki fungsi dan idealisasi yang
berbeda. Keduanya tak dapat berjalan seiringan karena tak selamanya kepentingan
sebuah golongan politik menyuarakan kepentingan yang lebih besar atau nasional;
sementara media yang menjadi kendaraan politik beroperasi secara lebih besar.
Media
yang berpolitik bisa menyesatkan para pembaca, pendengar, atau pemirsa. Sebab,
pemilihan narasumber, pemilihan waktu atau ruang bagi suatu sosok atau
peristiwa, serta keseimbangan pelaporan atas suatu fakta akan menjadi bias
dengan sengaja. Yang menjadi lawan politik dari pemilik media dengan sendirinya
akan tereliminir. Cara pandang politisi dan wartawan terhadap informasi
berbeda.
J Pemasaran
politik
Pemasaran
politik bagi sebagian insan politik di Indonesia adalah hal baru. Dipicu oleh
gelombang reformasi, membuat keterbukaan dan keran politik terbuka lebar-lebar.
Pemasaran menjadi semakin penting ketika iklim persaingan mulai ada. Seperti
kita ketahui zaman orde baru praktis tidak ada persaingan karena semua
dikendalikan oleh Soeharto. Pemenang pemilu sudah ditentukan jauh sebelum
pelaksanaan pemilu.
Di
era reformasi semua orang bisa mendirikan partai dan persaingan antar partai
semakin terbuka dalam memperebutkan konstituen. Apalagi dengan adanya pemilihan
langsung presiden dan pilkada. Peran teori dan praktik pemasaran semakin
diperlukan oleh partai politik dan individu yang berkecimpung di dunia politik.
Pemasaran
selama ini sudah dikenal luas dan telah dipraktikkan dalam dunia industri.
Bagaimana produk dari suatu perusahaan di perkenalkan dan didistribusikan ke
konsumen, kemudian sebuah produk beri label merek lalu di positioningkan agar
memiliki citra yang berbeda dengan pesaingnya untuk memenangkan pasar, itu
semua dilakukan dengan menggunakan konsep pemasaran.
Lalu
apa konsep pemasaran bisa dipraktikkan dalam bidang politik? Secara filosofis, konsep
pemasaran bisa diaplikasikan di berbagai bidang termasuk di institusi
non-profit seperti partai politik (Brownlie and Saren, 1991; Kotler and Zaman,
1976). Secara umum tidak terdapat perbedaan antara marketing di industri dan
politik, kecuali dari sisi konteks subyek yang di pasarkan. Di industri, yang
dipasarkan lebih jelas yaitu produk dan jasa, sementara di politik yang
dipasarkan adalah orang beserta ide dan gagasan yang dia bawa.
Konsep
pemasaran klasik yang bisa di adopsi adalah konsep STP (segmentation,
targeting, and positioning). Segmentation adalah sudut pandang sebuah
partai/kandidat dalam memandang populasi pemilih untuk kemudian dibagi dalam
beberapa segmen pemilih. Targeting adalah menentukan segmen pemilih mana yang
akan kita sasar sebagai target utama. Sementara positioning adalah bagaimana
sebuah partai atau kandidat diposisikan di benak pemilih ketika dibandingkan
dengan pesaingnya.
Konsep
STP ini penting sebagai pedoman bagi sebuah partai/kandidat untuk menentukan
karakter pemilih seperti apa yang akan menjadi lumbung suara, sekaligus sebagai
bahan dasar penentuan program kampanye apa yang efektif dan efisien yang sesuai
dengan hasrat dan keinginan pemilih.
Contoh
menarik di lakukan oleh Partai Buruh di Inggris (Garet Smith, Andy Hirst,
2001). Mereka membagi pemilih menjadi tujuh segmen mulai dari pemilih yang
konservatif, nasionalis sampai dengan yang sosialis. Dari tujuh segmen itu
kemudian partai buruh melakukan profiling setiap segmen dan menentukan dua
segmen utama yang akan dijadikan sebagai target pemilih utama.
Selain
konsep STP, dalam konsep pemasaran kita mengenal konsep marketing mix yaitu 4P
(product, price, promotion, place). Di politik, kita bisa terjemahkan konsep 4P
tersebut sebagai berikut. Pertama adalah Product, produk yang kita jual harus
memiliki kualitas yang baik. Karena itu ide, gagasan, atau kandidat yang kita
jual ke konstituen juga harus berkualitas dan otentik.
Kedua
soal price. Dalam konteks pemasaran perusahaan, price adalah value yang
dibayarkan oleh konsumen dibanding manfaat yang diterima dari produk atau jasa
yang mereka terima. Di politik, price bukanlah monetary value, karena tidak ada
biaya yang dikeluarkan oleh konstituen ketika memilih partai atau kandidat
tertentu. Price di sini lebih ke arah emotional value yang diberikan oleh
konstituen kepada partai atau kandidat. Emotional value ini bisa berarti
personal risk, ketika seorang menentukan memilih partai tertentu dibanding
partai yang lain.
Ketiga,
promotion. Promosi dan komunikasi barangkali sudah banyak dipraktikkan didunia
politik. Ketika mendekati masa pemilu semua partai dan kandidat jor-joran
mengkomunikasikan calonnya ke konstituen. Partai atau kandidat yang berkantong
tebal lebih banyak menggunakan media TV dan media cetak untuk beriklan. Apakah
iklan itu efektif atau tidak dalam menjangkau konstituen, itu lain soal.
Keempat,
Place. Distribusi adalah kunci penting dalam pemasaran produk, ketersediaan
produk di berbagai channel (pasar modern dan tradisional) menjamin konsumen
dengan mudah menemukan produk kita. Lalu dalam konteks politik, siapa yang
disebut sebagai channel itu? Saya berpendapat bahwa seharusnya kantor wilayah,
cabang, anak cabang, dan ranting yang tersebar di berbagai wilayah perkotaan
sampai ke pedesaan itulah yang disebut sebagai channel. Sayangnya,
kantor-kantor partai itu tidak "hidup" sepanjang waktu, tapi hanya
ramai ketika menjelang pemilu saja.
Di
Indonesia sendiri kita melihat sekarang kebanyakan partai atau kandidat hanya
berkutat dengan pencitraan jangka pendek saja dan belum sampai pada menjabarkan
secara sistematis penyusunan konsep STP dan 4P partai atau kandidat tersebut.
Kebanyakan ujug-ujug langsung bikin program kampanye yang tidak terstruktur dan
terukur. Mereka terjebak pada unsur popularitas saja. Akibatnya, partai politik
atau kandidat tersebut terjebak popularitas sesaat dan miskin gagasan dan ide
untuk perbaikan masalah-masalah yang dihadapi masyarakat.
2.4. Pencitraan politik
capres-cawapres dalam upaya menumbuhkan citra positif dan opini public
menjelang Pileg 2014
Kampanye
politik adalah sebuah upaya pencitraan, baik oleh partai politik, calon
legislatif maupun calon presiden (capres) atau calon wakil presiden (cawapres).
Seperti halnya sebuah iklan produk, maka kampanye politik juga menawarkan
sesuatu yang bisa dijual pada diri kandidat atau parpol untuk dibeli oleh para
calon pemilih.
Sesuatu
yang dijual tentu menunjukkan nilai lebih, baik dari segi mutu maupun
penampilan. Sehingga di dalam dunia marketing, pada pandangan pertama bungkus
bisa sangat menentukan dibandingkan isi. Produk sehebat apa pun, dengan
kualitas tinggi sekalipun bisa tidak laku kalau pembungkusnya tidak menarik
atau berkesan tidak bisa dipercaya.
Pencitraan
bermakna memberikan citra atau gambaran – dalam hal ini tentu saja yang baik-baik.
Sebagai usaha untuk menarik hati para calon pemilih, para kandidat dan parpol
akan memanfaatkan segala hal yang bisa menumbuhkan pandangan positif pada diri
pemilih terhadap mereka, baik itu segi penampilan, gaya berbicara, kecerdasan
dalam mengungkapkan pikiran, maupun kegiatan atau hasil kerja yang sudah ada.
Kalau
seorang kandidat, capres misalnya, mempunyai semua hal yang bisa dijual,
misalnya berpenampilan meyakinkan, berotak cerdas, berbicara lugas dan jelas,
sekaligus menunjukkan hasil kerja yang baik, tentunya capres ini mempunyai
nilai penuh di mata calon pemilihnya.
Untuk
kandidat yang tidak memiliki “nilai lebih” yang dimiliki kandidat yang lain,
tidak lantas menghujat dengan alasan, misalnya, kandidat lain tersebut
mengandalkan sosok penampilan dan gaya yang di-jaim-jaim-kan. Kalau saya
menilai, pendapat tersebut dilatarbelakangi oleh prasangka dan kecemburuan,
sehingga berkesan “kekanak-kanakan” sekali.
Polling
Merupakan Upaya Pencitraan
Secara
tidak langsung, polling atau pengumpulan pendapat untuk pasangan
capres-cawapres merupakan upaya pencitraan. Di luar indepensi lembaga survei
yang melaksanakan survei, hasil survei bisa saja digolongkan dalam usaha
pencitraan capres dan cawapres.
Kapabilitas sebuah lembaga survei tentunya bisa dinilai oleh para
ahlinya, sedangkan masyarakat pada umumnya hanya bisa melihat dan menggunakan
hasil survei tersebut.
Kalau
ada tudingan bahwa sebuah lembaga survei merupakan “antek-antek” capres dan
cawapres tertentu, itu pasti murni merupakan tuduhan penuh prasangka, karena
secara ilmiah setiap lembaga survei bisa mempertanggungjawabkan pelaksanaan
serta hasil polling yang dikerjakannya.
Alhir-akhir
ini beberapa lembaga survei mengumumkan hasil polling pasangan capres-cawapres.
Dari angka-angka yang ditampilkan, tampak persentase yang lebih besar (lebih
dari 60%) mengarah pada satu pasangan calon. Pasangan calon yang merasa dirinya
memenangkan polling, sah-sah saja mengaku sebagai “pemenang polling”, lalu
berdasarkan hasil itu mengumumkan dirinya sebagai “calon pemenang” pemilu
presiden nanti dalam satu putaran saja. Seandainya pasangan tersebut tidak
memenangkan polling lebih dari 60% atau hanya memperoleh persentase seimbang
dengan pasangan lain, tentunya pengakuan tersebut menjadi “aneh” dan bisa dianggap
“tidak waras”.
Pengakuan
kemenangan dalam satu putaran pemilu presiden ini pun sebenarnya sebuah bentuk
pencitraan. Sama saja dengan pasangan lain yang mengaku kalau dia menjadi
presiden maka ekonomi Indonesia akan bebas dari pengaruh asing, atau tingkat
pertumbuhan ekonomi nasional akan sebesar 2 digit. Bukankah terdengar sama
“sombongnya”? Itulah pencitraan. Di dalam pencitraan ada kebutuhan sebuah
pengakuan akan kehormatan, martabat, kecerdasan, dan sebagainya yang ada pada
diri orang yang dicitrakan. Hal tersebut dimaksud agar dia mendapatkan
pengakuan dari masyarakat dan pengikutnya sehingga dirinya dipilih oleh rakyat
sebagai presiden dan wakil presiden.
Opini Publik Menjelang
Pileg 2014
Menjelang
Pemilu 2014 banyak lembaga survei merilis hasil opini publik soal peluang
capres dan cawapres lima tahun ke depan. Metodologi akademis sebagai alat ukur
dinilai tepat untuk mengetahui bagaimana tingkat popularitas figur tertentu dan
partai politik di mata masyarakat. Namun sayangnya, pemaparan hasil survei yang
kerap dirilis telah menjerumus kepada upaya penggiringan opini publik. "Ada
semacam hegemoni opini, bahwa figur tertentu adalah layak dan pasti menang,
serta figur lainnya tidak layak dan pasti kalah," ujar pengamat politik
Universitas Jayabaya, Igor Dirgantara kepada wartawan di Jakarta, Selasa
(24/12).
Menurutnya,
tidak ada satu pun lembaga survei di dalam rilisnya mau mengungkapkan asal
muasal dana yang digunakan untuk melakukan penelitian. Artinya, kata Igor,
kurangnya tranparansi lembaga survei terkait penerimaan dana survei masih
menjadi masalah utama dalam independensi hasil survei itu sendiri.
"Mereka
biasanya berlindung di balik prinsip anonimitasn di mana lembaga survei tidak
bisa memberitahu kepada publik jika sang pemberi dana tidak mau disebutkan
namanya. Hal ini mirip dengan profesi kedokteran yang melindungi kerahasiaan
pasiennya," jelas Igor. Dia menjelaskan, penggiringan opini publik melalui
hasil survei bisa dilakukan, mengingat adanya bandwagon effect atau pilihan dan
dukungan publik akan mengarah kepada figur-figur tertentu yang selalu menempati
posisi nomor satu dari hasil-hasil survei terakhir. Apalagi jika figur tersebut
sampai disebut 'manusia setengah dewa', 'ratu adil' atau bahkan 'nabi'.
"Ada
lembaga survei tertentu juga punya dua kaki. Kaki yang satu untuk melakukan
survei yang benar, dan kaki yang lainnya adalah untuk pendampingan atau
konsultan pemenangan. Dari sini sudah terlihat bahwa ada lembaga-lembaga survei
yang tidak mengedepankan independensi," ungkap dosen FISIP Universitas
Jayabaya itu.
Padahal,
lanjut Igor, pertarungan dalam kontestasi Pemilu 2014 lebih merupakan
pertarungan antara para elit politik di belakang layar, ketimbang hasil survei
semata. Dengan kata lain, manuver, strategi, dan pilihan elit-elit partai sering
lebih menentukan pasca Pemilu Legislatif atau jelang Pemilu Presiden yang akan
menembus batas atas sekat-sekat hasil survei.
"Para
elit partai sangat mungkin meluaskan dukungannya lewat praktek money politic,
misalnya. Biasanya manuver elit politik ini sangat fleksibel, terbuka, dan
variatif tergantung kebutuhan dan kepentingannnya," beber Igor.
BAB
III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Pencitraan
bermakna memberikan citra atau gambaran – dalam hal ini tentu saja yang
baik-baik. Sebagai usaha untuk menarik hati para calon pemilih, para kandidat
dan parpol akan memanfaatkan segala hal yang bisa menumbuhkan pandangan positif
pada diri pemilih terhadap mereka, baik itu segi penampilan, gaya berbicara,
kecerdasan dalam mengungkapkan pikiran, maupun kegiatan atau hasil kerja yang
sudah ada.
Kalau seorang kandidat,
capres misalnya, mempunyai semua hal yang bisa dijual, misalnya berpenampilan
meyakinkan, berotak cerdas, berbicara lugas dan jelas, sekaligus menunjukkan
hasil kerja yang baik, tentunya capres ini mempunyai nilai penuh di mata calon
pemilihnya.
3.2. Saran
Menjelang
Pemilu 2014 banyak lembaga survei merilis hasil opini publik soal peluang
capres dan cawapres lima tahun ke depan. Metodologi akademis sebagai alat ukur
dinilai tepat untuk mengetahui bagaimana tingkat popularitas figur tertentu dan
partai politik di mata masyarakat.
DAFTAR
PUSTAKA
http://senaru.wordpress.com/2009/06/07/ilmu-komunikasi
Tugas Ini Dibuat Untuk Memenuhi Tugas Mata
Kuliah Komunikasi Politik
OLEH :
Armadiana Putri/120240019
Ilmu Komunikasi
III PR A
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS MALIKUSSALEH
ACEH UTARA
2013/2014
KATA
PENGANTAR
Puji
dan syukur kita panjatkan kepada Allah swt, yang telah melimpahkan rahmat,
hidayah dan karunia-Nya. Tak lupa pula salawat salam saya sanjung sajikan ke
pangkuan Nabi Besar Muhammad saw, sehingga saya dapat menyelesaikan makalah
yang berjudul “Proses Pencitraan Politik”.
Makalah
ini saya susun berdasarkan sumber-sumber informasi yang mendukung sehingga
dapat saya rangkum sedemikian rupa, agar lebih mudah dipahami oleh pembaca,
maka makalah ini lebih banyak berisi poin-poin penting.
Saya
mengucapkan banyak terima kasih atas peran serta berbagai pihak yang telah
membantu penyelesaian makalah ini. Saya menyadari akan adanya berbagai
kekurangan dan berharap adanya kritikan dan saran dari pembaca demi
kesempurnaan hasil kerja saya dimasa yang akan datang.
Lhokseumawe,
9 januari 2014 Hormat saya,
Penyusun
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR
ISI
BAB
I PENDAHULUAN
BAB
II PEMBAHASAN
2.1. Komunikasi politik sebagai studi ilmu
komunikasi
2.2. Proses komunikasi politik
2.3. Komunikator, khalayak, pesan, media dan
pemasaran politik
2.4. Pencitraan politik capres-cawapres dalam upaya
menumbuhkan citra positif dan opini public menjelang Pileg 2014
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
DAFTAR
PUSTAKA
BAB
I
PENDAHULUAN
Kampanye politik adalah sebuah
upaya pencitraan, baik oleh partai politik, calon legislatif maupun calon
presiden (capres) atau calon wakil presiden (cawapres). Seperti halnya sebuah
iklan produk,
maka kampanye politik juga menawarkan sesuatu yang bisa dijual pada diri
kandidat atau parpol
untuk dibeli oleh para calon pemilih.
Sesuatu yang dijual tentu
menunjukkan nilai lebih, baik dari segi mutu maupun penampilan. Sehingga di
dalam dunia marketing, pada pandangan pertama bungkus bisa sangat menentukan
dibandingkan isi. Produk sehebat apa pun, dengan kualitas tinggi sekalipun bisa
tidak laku kalau pembungkusnya tidak menarik atau berkesan tidak bisa
dipercaya.
Pencitraan bermakna memberikan
citra atau gambaran – dalam hal ini tentu saja yang baik-baik. Sebagai usaha
untuk menarik hati para calon pemilih, para kandidat dan parpol akan
memanfaatkan segala hal yang bisa menumbuhkan pandangan positif pada diri
pemilih terhadap mereka, baik itu segi penampilan, gaya berbicara, kecerdasan
dalam mengungkapkan pikiran, maupun kegiatan atau hasil kerja yang sudah ada.
Di era reformasi semua orang bisa
mendirikan partai dan persaingan antar partai semakin terbuka dalam
memperebutkan konstituen. Apalagi dengan adanya pemilihan langsung presiden dan
pilkada. Peran teori dan praktik pemasaran semakin diperlukan oleh partai
politik dan individu yang berkecimpung di dunia politik.
Pemasaran selama ini sudah
dikenal luas dan telah dipraktikkan dalam dunia industri. Bagaimana produk dari
suatu perusahaan di perkenalkan dan didistribusikan ke konsumen, kemudian
sebuah produk beri label merek lalu di positioningkan agar memiliki citra yang
berbeda dengan pesaingnya untuk memenangkan pasar, itu semua dilakukan dengan
menggunakan konsep pemasaran.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1. Komunikasi politik
sebagai studi ilmu komunikasi
Sebagai suatu bidang kajian, studi komunikasi politik
mencakup dua disiplin dalam ilmu-ilmu sosial, yaitu ilmu politik dan ilmu
komunikasi. Dalam ilmu politik, istilah komunikasi politik mulai banyak
disebut-sebut bermula dari tulisan Gabriel Almond yang berjudul The
Politics of the Development Areas pada tahun 1960. Almond
berpendapat bahwa komunikasi politik adalah salah satu fungsi yang selalu ada
dalam dalam setiap sistem politik. Menurutnya, komunikasi politik bukanlah
fungsi yang berdiri sendiri, akan tetapi merupakan proses penyampaian pesan
yang terjadi pada saat keenam fungsi lainnya itu dijalankan. Dalam hal ini,
Easton (dalam System Analysis of Political Life, 1965) memberi
batasan sistem politik pada berbagai hal yang berkaitan dengan pembuatan dan
pelaksanaan keputusan otoritatif.
Berbeda dengan ilmuwan politik yang lebih membahas
komunikasi politik berkenaan dengan sistem politiknya, yaitu proses
pembuatan dan pelaksanaan keputusan otoritatif. Ilmuwan komunikasi membahas
komunikasi politik berkenaan dengan unsur-unsur komunikasinya sebagai upaya
merumuskan suatu komunikasi politik yang efektif (bandingkan dengan Maswadi
Rauf, 1993).
Walaupun istilah komunikasi politik mulai populer pada tahun
1960, namun studi –studi tentang komunikasi yang memuat pesan-pesan
politik telah ada semenjak lama. Misal: Studi propaganda pada perang dunia
yang dilakukan Harold Lasswell pada tahun 1927; Studi tentang tingkah laku
pemilih yang dilakukan Lazarfeld, Berelson dan Gaudet pada tahun 1940 di daerah
Ohio, yang kemudian dipublikasikan dengan judulThe People’s Choice: How the
Voter Makes Up His Mind in a Presidential Campaign; Studi
perubahan attitude dalam proses komunikasi yang dilakukan
Karl Hovland dkk, 1953, Communication and Persuasion: Psychological
Studies of Opinion Change; dan sebagainya. Semua studi tersebut telah
meletakan dasar –dasar yang kokoh bagi pengembangan studi komunikasi politik.
2.2. Proses
komunikasi politik
Pada tahun 1948,
ilmuan politik, Harold D. Laswell mengemukakan bahwa cara mudah untuk
menggambarkan proses komunikasi adalah dengan menjawab pertanyaan- pertanyaan
berikut ini:
-
Who
-
Says
What (apa yang dibicarakan)
-
In
which channel (menggunakan saluran apa)
-
To
Whom (kepada siapa)
-
With
what effect (bagaimana pengaruhnya).
Pertanyaan-pertanyaan
tersebut digunakan untuk mengidentifikasi unsur-unsur yang biasa terdapat dalam
semua komunikasi yaitu adanya:
-
Pengirim
atau komunikator (sender) adalah pihak yang mengirimkan pesan kepada pihak
lain.
-
Pesan
(message) adalah isi atau maksud yang akan disampaikan oleh satu pihak kepada
pihak lain.
-
Saluran
(channel) adalah media dimana pesan disampaikan kepada komunikan. dalam
komunikasi antar-pribadi (tatap muka) saluran dapat berupa udara yang mengalirkan
getaran nada/suara.
-
Penerima
atau komunikate (receiver) adalah pihak yang menerima pesan dari pihak lain
-
Umpan
balik (feedback) adalah tanggapan dari penerimaan pesan atas isi pesan yang
disampaikannya.
Menurut Dan
Nimmo, Laswellian Formula merupakan formula paling sederhana yang bisa dipakai
untuk memahami proses komunikasi politik. Namun Nimmo menilai masih ada dua
kekurangan dari rumusan yang dikemukakan Laswell, yakni :
-
Kekurangan
pertama terletak pada ” pernyataan dari seseorang kepada seseorang” yang
menyiratkan proses komunikasi berlangsung linear. Dalam kenyataannya,
komunikasi merupakan tindakan bersama yang yang berlangsung simultan dan
silkular antara seseorang dengan orang lain.
-
Kekurangan
kedua adalah penjelasan laswell yang menyiratkan bahwa komunikasi adalah
struktur berunsur lima. Dalam kenyatannya tidak ada demarkasi atau perbatasan
diantara bagian- bagian proses komunikasi.
Untuk mengatasi
kekurangan ini, Nimmo mereformulasi rumusan Laswell menjadi berikut :
Laswell:
-
Siapa?
-
Mengatakan
apa?
-
Kepada
siapa?
-
Dengan
saluran apa?
-
Dengan
akibat apa?
Nimmo:
-
Siapa?
-
Mengatakan
apa?
-
Kepada
(dengan) siapa?
-
Dengan
saluran (-saluran) apa?
-
Dengan
akibat (- akibat) apa?
2.3.
Komunikator, khalayak, pesan, media dan pemasaran politik
J Komunikator politik
Komunikator
Politik adalah orang atau sekelompok orang yang menyampaikan pesan poltik yang
biasa nya berkaitan dengan kekuasaan pemerintah, kebijakan pemerintah, aturan
pemerintah, kewenangan pemerintah yang bertujuan untuk mempengaruhi khalayak
baik itu verbal atau non verbal.
Menurut "Nimmo
(1989)" mengklasifikasikan komunikator utama dalam politik sebagai berikut
:
1. Politikus.
- Orang yang memegang
jabatan pemerintah, tidak perduli apakah mereka dipilih, ditunjuk/ pejabat
karir. Dan tidak mengindahkan apakah jabatan itu eksekutif, legislatif,
yudikatif.
ex. Pejabat Eksekutif
(presiden, menteri, gubernur, dsb).
Pejabat Legislatif ( ketua MPR, ketua
DPR/DPD, anggota DPR/DPD dsb)
Pejabat Yudikatif (MA, MK, Jaksa Agung
dsb)
2. Profesional.
-Orang-orang yang
mencari nafkahnya dengan berkomunikasi, karna keahlian nya berkomunikasi.
a. Jurnalis -->
Karyawan organisasi berita yang menhubungkan sumber berita dengan khalayak.
Mereka bisa mengatur para politikus dengan publik umum, menghubungkan publik
umum dengan para pemimpin dan membantu menempatkan masalah dan peristiwa pada
agendadiskusi publik.
b. Promotor -->Orang
yang dibayar untuk mengajukan kepentingan langganan tertentu. Yang termasuk ke
dalam promotor adalah agen publisitas tokoh masyarakat yang penting, personel
hubungan masyarakat pada organisasi swasta atau pemerintah, sekretaris pers
kepresidenan dsb.
3. Aktivis
- Komunikator poltik
utama yang bertindak sebagai saluran organisasional dan interpersonal. Ia cukup
terlibat baik dalam politik dan semiprofesional dalam komunikasi politik.
Mewakili tuntutan keanggotaan suatu organisasi, melaporkan keputusan dan
kebijakan pemerintah kepada anggota suatu organisasi.
* Komunikator Politik
yang baik :
1.
Mengenal diri sendiri.
2.
Kredibiltas (kepercayaan)
3.
Daya tarik
4.
Power (kekuatan)
J Khalayak politik
Dalam
komunikasi politik,khalayak yang menerima pesan-pesan politik adalah khalayak
politik. Jadi khalayak atau masyarakat luas atau publik yang menerima, memaknai
dan terpengaruh dengan berita dan infoirmasi atau pesanyang mempunyai muatan
politik dalam bentuk apapun adalah khalayak politik. Khalayak politik juga
dapat berubah menjadi komunikator politik dalam situasi dan kepentingan
tertentu, juga sebaliknya.
Khalayak
politik adalah khalayak yang mempunyai perhatian terhadap perkembangan keadaan
politik, memiliki informasi mengenai perkembnangan tersebut, dan mau aktif
berpartisipasi, merupakan kebutuhan sistem politik.
Hennesy (dalam Nasution
1990), membedakan publik sebagai berikut:
-
Publik umum (general public);Publik umum
terdiri dari hampir separuh penduduk, dalam kenyataannya jarang berkomunikasi
dengan para pembuat kebijakan.
-
Publik yang penuh perhatian (the
attentive public);Sedangkan publik attentive merupakan khalayak yang menaruh
perhatian terhadap diskusi-diskusi antar elit politik dan seringkali
termobilisasi untuk bertindak dalam kaitan suatu permasalahan politik.
-
Elit opini dan kebijakan (the leadership
public).Di antara semuanya, elit opini dan kebijakan merupakan kalangan yang
paling aktif minatnya dalam masalah kepemerintahan dan seringkali sebagai
pelaku politik.
J Pesan politik
Pesan
politik merupakan salah satu unsur penting dalam komunikasi politik. Pesan
dapat diterjemahkan sebagai informasi yang dikirimkan oleh komunikator kepada
komunikan. Selain itu pesan juga dapat diartikan sebagai pemikiran dan gagasan
yang diungkapkan melalui bahasa. Dalam komunikasi antar manusia, pesan dapat
berbentuk verbal atau non-verbal.
Ada
beberapa jenis pesan dalam komunikasi politik. Lynda Lee Kaid mengidentifikasi
tiga pesan, yakni melalui retorika politik, iklan politik dan debat kandidat. Sementara
Dan Nimmo mengidentifikasikannya menjadi propaganda, periklanan dan retorika.
Dalam penelitian ini penulis merumuskan pesan-pesan politik ke dalam tiga
bentuk, yakni retorika, iklan politik, dan propaganda.
a. Retorika
Sambil
mengutip Cicero, Bruce Gronbeck, dalam Lynda Lee Kaid, mengatakan bahwa the
good man speaking well. Kalimat ini menjadi dasar bagi Gronbeck dalam
memformulasikan teorinya mengenai retorika politik. Menurut Gronbeck, retorika
adalah kemampuan berbicara di muka publik dengan berbagai teknik untuk bukan
saja menyampaikan pesan, melainkan juga menanamkan pengaruh. Sementara retorika
politik diterjemahkan sebagai cara yang dilakukan para komunikator politik
dalam berinteraksi dengan publik. Pada dasarnya, menurut Gronbeck, tanpa
memasukan kata “politik” pun retorika merupakan sebuah wacana yang sepenuhnya
politis karena mengandung kepentingan politik.
James
Boyd White melihat retorika sebagai domain yang luas dari pengalaman sosial
dalam wujud bahasa. Berbekal teori social construction, White percaya bahwa
budaya “disusun kembali” (reconstituted) melalui bahasa. Sebagaimana bahasa
mempengaruhi manusia, manusia juga mempengaruhi bahasa. Bahasa pada dasarnya
socially constructed, dan maknanya bergantung pada maksud dari manusia yang
menggunakannya. Dan dari yang bersifat socially constructed, bahasa kemudian
dapat juga menjadi alat merekonstruksi sosial. Retorika membuktikan hal itu
sejak zaman Plato.
Dan
Nimmo mendefinisikan retorika sebagai komunikasi dua arah, satu-kepada-satu,
dalam arti satu orang atau lebih, yang saling berusaha untuk mempengaruhi
pandangan satu sama lain melalui tindakan timbal balik.
Sebagai
kesimpulan, dalam penelitian ini retorika didefinisikan sebagai komunikasi dua
arah yang disampaikan di depan publik dengan berbagai teknik tertentu untuk
melakukan transmisi pesan sekaligus menanamkan pengaruh. Retorika merupakan
seni penggunaan bahasa untuk berkomunikasi secara efektif dan persuasif.
Sambil
mengutip Aristoteles, Dan Nimmo mengklasifikasikan retorika menjadi tiga jenis,
yakni retorika deliberatif, retorika forensik dan retorika demonstratif.
Retorika deliberatif dirancang untuk
mempengaruhi orang-orang dalam urusan kebijakan pemerintah dengan menggambarkan
keuntungan dan kerugian relatif dari cara-cara alternatif. Fokusnya adalah pada
apa yang akan terjadi di masa depan jika suatu kebijakan tertentu diambil atau
tidak diambil.
Retorika
forensi menyangkut ruang yuridis. Fokusnya pada apa yang terjadi di masa lalu
untuk menunjukan bersalah atau tidak bersalah, pertanggungjawaban, atau hukuman
dan ganjaran. Setting-nya biasanya dilakukan di ruang sidang, meskipun
terjadinya di tempat lain.
Retorika
demonstratif merupakan pidato
epideiktik, wacana yang memuji dan menjatuhkan. Tujuannya adalah untuk
memperkuat sifat baik dan sifat buruk seseorang, suatu lembaga atau gagasan.
Kampanye politik biasanya menggunakan retorika demonstratif.
b. Iklan Politik
Selain
retorika, pesan dalam komunikasi politik adalah iklan politik. Menurut Lynda
Lee Kaid, sebagai sebuah bentuk komunikasi politik, iklan politik telah
berkembang menjadi bentuk dominan dalam komunikasi antara para kandidat dan
pemilih, terutama di Amerika. Dalam bentuknya yang berbeda, iklan politik juga
telah menjadi sebuah bentuk komunikasi bagi negara-negara demokratis di seluruh
dunia.
Iklan
politik pada tabiatnya hampir sama dengan iklan komersial. Sepak terjangnya
bagian dari fenomena bisnis modern. Tidak ada perusahaan (dalam hal ini parpol)
yang ingin maju dan memenangkan kompetisi bisnis (dalam hal ini Pemilu) tanpa
mengandalkan iklan politik.
Iklan
politik, menurut Lynda, merupakan proses komunikasi dimana sebuah partai
politik atau seorang kandidat “membeli” kesempatan untuk mengekspos dirinya
kepada komunikan melalui saluran media massa untuk menyampaikan pesan-pesan
politik dengan tujuan mampu memberikan efek berupa pengaruh dalam membentuk
sikap politik, kepercayaan dan atau tingkah laku komunikan.
Ada
dua hal penting dalam definisi di atas, yakni iklan politik dapat melakukan
kontrol terhadap pesan dan penggunaan media massa sebagai saluran distribusi
pesan. Pada yang pertama, seorang kandidat atau sebuah partai politik dapat
mengemas, menentukan dan mengontrol pesan apa yang ingin disampaikan kepada
audiens. Pada yang kedua, media kemudian juga mempunyai peran signifikan atas
“evolusi makna” pada pesan politik yang ingin disampaikan kandidat atau partai
politik.
Menurut
Dan Nimmo, iklan politik merupakan komunikasi satu-kepada-banyak; iklan
mendekati individu-individu tunggal, independen, terpisah dari kelompok apapun
yang menjadi identifikasinya dalam masyarakat.
Iklan
politik tidak lepas dari kepentingan yang mengarahkan dan mempengaruhi opini
publik demi sebuah tujuan yang telah direncanakan oleh pembuat iklan. Opini
publik yang kemudian terbangun melalui iklan diharapkan dapat mengarahkan
masyarakat umum untuk membeli dan mengkonsumsi “produk” yang diiklankan.
Pertanyaannya
kemudian adalah, apakah pesan yang disampaikan melalui iklan politik otomatis
akan sampai kepada audiens sebagaimana harapan komunikator, dalam hal ini
kandidat atau partai politik? Jawaban atas pertanyaan ini terumus atas tiga
kondisi, yaitu: Pertama, bagaimana pesan itu dikemas sehingga efektif masuk ke
dalam benak audiens dan memberikan efek yang kuat pada tingkah laku untuk
memutuskan dalam memilih; Kedua, peran besar media yang mampu menentukan apakah
komunikator akhirnya memiliki kesempatan untuk menyampaikan pesannya. Artinya,
apakah komunikator diberikan cukup waktu oleh media untuk menayangkan iklan
politiknya, seberapa besar biaya iklan itu, dan akan ditayangkan pada waktu
yang seperti apa oleh media. Ketiga, memperhatikan regulasi atau Undang-Undang
yang mengatur soal iklan politik, dalam hal ini Undang-Undang berkampanye. Ada
aturan dan batasan bagi kandidat atau partai politik untuk menyampaikan pesan
politiknya melalui iklan politik.
Pada
umumnya penelitian mengenai iklan politik terbagi ke dalam dua kategori;
penelitian mengenai konten iklan politik dan penelitian yang terfokus pada efek
yang ditimbulkan oleh iklan politik. Di Indonesia sendiri penelitian tentang
iklan politik lebih banyak pada konten iklan. Padahal, dalam pandangan penulis,
penelitian mengenai efek iklan juga merupakan hal yang sangat signifikan.
Menurut
Lynda Lee Kaid, penelitian atas efek iklan politik pada umumnya terbagi menjadi
tiga kategori; efek pada tingkat pengetahuan pemilih (efek kognitif), efek pada
persepsi pemilih terhadap kandidat (efek afektif), dan efek terhadap tingkah
laku pemilih (efek behavior), termasuk efek dalam memutuskan untuk memilih.
Menurut
Gati Gayatri, kampanye melalui iklan dalam media massa terbukti menimbulkan
efek tertentu pada perilaku memilih yang ditunjukkan masyarakat dalam pemilu.
Efek tersebut bisa berupa perubahan-perubahan opini, persepsi, sikap atau
perilaku; bersifat mikro terjadi secara individual atau makro terjadi secara
menyeluruh pada suatu sistem sosial; bersifat langsung atau kondisional, karena
isu media tertentu saja atau secara umum; dan bersifat alterasi atau
stabilisasi.
Iklan
politik melalui media massa merupakan salah satu alternatif yang sering dipilih
parpol dan kandidat dalam pelaksanaan kampanye pemilu. Meskipun harus mengeluarkan
dana yang besar, parpol dan kandidat sering menggunakan iklan dalam media massa
sebagai salah satu alat untuk memudahkan upaya pencapaian tujuan-tujuan politik
mereka. Pertimbangan-pertimbangan yang menjadi landasan mereka memutuskan
menggunakan media komunikasi politik itu biasanya adalah faktor keunggulan
media massa dalam menjangkau khalayak yang sangat luas dan faktor peluang
menyampaikan pesan-pesan politik dengan berbagai pilihan strategi komunikasi.
c. Propaganda
Teknik
penyampaian pesan lain di samping retorika dan iklan politik adalah melalui
Propaganda. Propaganda diakui sebagai salah satu teknik paling kuat dalam
menanamkan pengaruh kepada massa.
Bernays,
seperti dikutip Nurudin, mendefinisikan propaganda sebagai suatu usaha yang
bersifat konsisten dan terus menerus untuk menciptakan atau membentuk
peristiwa-peristiwa guna mempengaruhi hubungan politik terhadap suatu usaha
atau kelompok.
Menurut Jacques Ellul, seperti dikutip Dan Nimmo,
propaganda adalah suatu alat yang digunakan oleh kelompok yang terorganisasi
untuk menjangkau individu-individu yang secara psikologis dimanipulasi dan
digabungkan ke dalam suatu organisasi.
Garth
S. Jowett dan Victoria O'Donnell mendefinisikan propaganda sebagai sebuah usaha
yang sengaja dan sistemik untuk membentuk persepsi, memanipulasi kognisi, dan
mengatur tingkah laku untuk mendapatkan respons sesuai seperti yang diinginkan
oleh propagandis.
Dengan
demikian, pada dasarnya propaganda merupakan “metode” komunikasi yang dilakukan
untuk memberikan pengaruh kepada massa melalui teknik-teknik tertentu. Umumnya
propaganda lebih ditujukan pada emosi massa dibanding pada intelek massa.
Karena itu seringkali propaganda tidak sekedar “mempengaruhi” namun juga
“menggerakan” massa.
Nurudin
mengidentifikasi enam komponen yang terdapat dalam propaganda; Pertama, dalam
propaganda selalu ada pihak yang dengan sengaja melakukan proses penyebaran
pesan untuk mengubah sikap dan tingkah laku sasaran propaganda. Pelaku penyebar
pesan dalam propaganda disebut propagandis. Kedua, propaganda dilakukan secara
terus menerus. Hal ini berbeda dengan kampanye yang umumnya dilakukan secara
temporer. Ketiga, dalam propaganda terdapat proses penyampaian ide, kepercayaan
atau bahkan doktrin. Keempat, propaganda memiliki tujuan untuk mengubah
pendapat, sikap dan tingkah laku individu atau kelompok lain. Kelima,
propaganda adalah usaha sadar; sebuah cara yang sistematis, prosedural dan
terencana dengan matang. Keenam, untuk mencapai tujuannya, propaganda biasanya
menggunakan media yang tepat, terutama media massa.
Propaganda
dapat diklasifikasi menjadi tiga bentuk berdasarkan sumber dan asal pesan,
yakni white propaganda, black propaganda dan grey propaganda. White propaganda
(propaganda putih) berasal dari sebuah sumber terbuka yang dapat diidentifikasi,
dan karakteristiknya adalah menggunakan metode persuasi, seperti yang biasa
digunakan dalam teknik public relation. Black propaganda (propaganda hitam)
berasal dari satu sumber saja, dan ini merupakan fakta bagi orang atau kelompok
lain. Black propaganda digunakan untuk memojokan atau memberikan citra negatif
kepada lawan politik. Grey propaganda (propaganda abu-abu) berasal dari sumber
yang sulit dikenali. Tujuan utama grey propaganda adalah untuk membuat lawan
percaya pada kesalahan propagandis dengan menggunakan argumen “straw” atau
argumen yang sesungguhnya bersifat sebaliknya. Misalnya propagandis ingin
membuat pemerintah mengatakan “A”, namun propagandis itu mengatakan “B” sambil
menggiring pemerintah untuk meyakini bahwa “B” itu salah dan yang benar adalah
“A”. Maka pemerintah akan berasumsi bahwa “A” adalah yang benar, sebagaimana
tujuan propagandis.
J Media politik
Kesamaan
utama antara politik dan media ada pada hubungannya dengan orang banyak. Kedua
ranah tersebut membutuhkan dan dibutuhkan oleh masyarakat, yang anonim, dalam
melakukan operasi-operasi rutinnya. Politik berurusan dengan ideologi, dan
topik ideologi tentu saja menyangkut kehidupan sosial rakyat. Sementara media
adalah jembatan antara topik atau tema yang diangkat dengan rakyat yang
tersebar.
Secara
teoritis, keduanya bisa berjalan dengan harmoni. Media massa bisa memediasi
kegiatan politik dari para politisi kepada masyarakat. Dan sebaliknya, media
juga bisa memediasi opini, tuntutan, atau reaksi masyarakat kepada para politisi.
Media massa adalah ruang lalu lintas bagi segala macam ide-ide yang menyangkut
kepentingan orang banyak.
Namun
demikian, permasalahannya adalah, sejauh apa media bisa bertindak adil atas
berbagai kepentingan yang dimediasinya? Ada begitu banyak kepentingan yang
terjadi, dan bagaimana media massa menempatkannya secara proporsional? Apa yang
menyebabkan sebuah kegiatan politik dari golongan tertentu lebih dikedepankan
ketimbang kepentingan politik lain dari golongan yang lain juga?
Jawabannya
terkadang tak begitu jelas. Dan belum ada Undang-Undang yang tertuang untuk
itu. Belum ada aturan yang mengkriteriakan bahwa seseorang harus mendapat
sekian kalimat untuk dimuat di media cetak, berapa menit di televisi, dan harus
mendapat intonasi yang sama dari pewawancara dalam media televisi. Lebih dari
itu, masalahnya bukan hanya terletak pada bagaimana bertindak adil, tetapi juga
bagaimana gemuruh aktivitas politik itu bisa selaras dengan empat fungsi media massa,
yakni memberikan informasi, memberikan pendidikan, memberikan hiburan, dan
melakukan kontrol sosial.
Dalam
menghadapi dunia politik, media massa tak jarang menemui kesulitan-kesulitan
tersendiri. Di satu sisi, media massa dituntut untuk melaksanakan fungsinya
agar pembaca, pemirsa, atau pendengar kian memiliki sikap kritis, kemandirian,
dan kedalaman berpikir. Namun di sisi lain, pragmatisme ekonomi memaksa media
mengadopsi logika politik praktis yang terpatri pada spektakuler, sensasional,
superfisial, dan manipulatif.
Propaganda Politik
Politik
dan media memang ibarat dua sisi dari satu mata uang. Media memerlukan politik
sebagai makanan yang sehat. Media massa, khususnya harian dan elektronik,
memerlukan karakteristik yang dimiliki oleh ranah politik praktis: hingar
bingar, cepat, tak memerlukan kedalaman berpikir, dan terdiri dari tokoh-tokoh
antagonis dan protagonis.
Politik
juga memerlukan media massa sebagai wadah dalam mengelola kesan yang hendak
diciptakan. Tidak ada gerakan sosial yang tidak memiliki divisi media. Apapun
bidang yang digeluti oleh sebuah gerakan, semuanya memiliki perangkat yang
bertugas untuk menciptakan atau berhubungan dengan media.
Dunia
politik sadar betul bahwa tanpa kehadiran media, aksi politiknya menjadi tak
berarti apa-apa. Bahkan menurut C. Sommerville, dalam bukunya Masyarakat Pandir
atau Masyarakat Informasi (2000), kegiatan politik niscaya akan berkurang jika
tidak disorot media. Media memang memiliki kemampuan reproduksi citra yang
dahsyat. Dalam reproduksi citra tersebut, beberapa aspek bisa dilebihkan dan
dikurangi dari realitas aslinya (simulakra). Kemampuan mendramatisir ini pada
gilirannya merupakan amunisi yang baik bagi para politisi, terutama menjelang
pemilu.
Yang
menjadi masalah bagi politisi adalah bagaimana ia menjalin hubungan muatualisme
dengan pihak media; bagaimana ia membangun kesan tertentu dengan memilih latar
belakang (pada televisi) saat bercakap-cakap dengan media; bagaimana ia mampu
meyakinkan media bahwa ia dan aksinya adalah penting. Semua dilakukan dengan
mengharapkan imbalan berupa publisitas.
Namun
pada saat yang sama, media massa juga harus berpikir bahwa ia tidak
diperkenankan mengadopsi kepentingan-kepentingan tersebut secara berlebihan.
Salah-salah, ia akan menjadi bagian dari program politik sebuah golongan
politik. Dan tak mudah memang membuat garis demarkasi apakah sebuah media
prorakyat atau tengah ditunggangi oleh pihak-pihak tertentu yang juga mengklaim
sebagai pejuang kerakyatan.
Contoh
yang sering terjadi adalah ketika nasionalisme menjadi isu sentral dengan
Tentara Nasional Indonesia (TNI) sebagai tokohnya. Dari versi TNI, dirinyalah
yang harus didukung karena ia sedang berjuang menghadapi Gerakan Aceh Merdeka
(GAM), misalnya. Dan keinginan itu kerap dilakukan dengan memonopoli kebenaran.
Meski bisa jadi versi TNI benar, tapi ketika ada upaya menghalangi versi lain
untuk berbicara tentang siapa yang terkena tembakan atau berapa korban yang
jatuh dalam kontak senjata antara TNI dan GAM, maka fakta menjadi tak bermakna.
Begitu
juga dengan media yang biasanya melulu mengutip istilah-istilah yang
dilontarkan oleh pejabat negara. Kita tentu masih ingat dengan istilah
Gerombolan Pengacau Keamanan (GPK), Gerombolan Bersenjata, Teroris Islam, atau
Fundamentalis. Ketika media memberitakan berbagai istilah ini terus menerus
tanpa ada konfirmasi pada publik bahwa ia bersumber dari sebuah pihak, maka
media sebenarnya telah termakan oleh praktek politik media yang sedang
dijalankan oleh salah satu pihak, yaitu propaganda melalui labelling.
Tanpa
sadar, sebuah media akan menjadi kaki tangan sebuah golongan. Ia “diperdaya”
oleh sebuah golongan bahwa “ini” penting ketimbang “itu”. Dalam sebuah talk
show di salah satu stasiun televisi, dibangun sebuah wacana bahwa operasi
militer di Aceh tidak menyelesaikan persoalan. Makna kebenaran dari wacana ini memang
bisa disetujui. Namun, diskusi tersebut tidak mempersoalkan bagaimana
selayaknya memperlakukan kelompok sipil bersenjata di Aceh.
Sebuah
golongan mendesakkan sebuah wacana bahwa ia penting untuk diangkat. Namun, pada
saat yang sama, bisa dirasakan bahwa media tengah meniadakan bagian tertentu
dari fakta besar. Sebab, dalam kasus Aceh, perang tersebut juga telah
menyebabkan perpecahan dalam keluarga. Banyak kasus dimana si abang adalah GAM
dan si Adik adalah TNI. Dan keduanya duduk bersama di meja makan. Keluarga
sebagai penyangga awal dari struktur sosial telah berantakan. Dan tentu ini
bukan hanya masalah operasi militer. Namun, media kerap telah dibingkai oleh
sebuah konsep yang terstigmatisasi dengan salah satu pihak. Dan pada
gilirannya, media tidak memediasi informasi secara benar. Pemberitaan menjadi
tidak proporsional, dan kemanusiaan menjadi taruhannya. Dan tidak hanya itu
saja, media pun akhirnya bersifat fasistis.
Media Berpolitik?
Pada
sisi lain, kepentingan media akan informasi juga telah membuat celah tersendiri
bagi orang-orang tertentu. Orang-orang tersebut adalah orang-orang yang begitu
haus akan publisitas. Mereka dengan cerdas mengemas berbagai persitiwa sehingga
ia bisa selalu muncul di berbagai media.
Orang
seperti ini disebut oleh Bimo Nugroho, anggota Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)
ketika berbicara dalam sebuah diskusi panel yang diselenggarakan oleh Keluarga
Mahasiswa Jurnalistik di Universitas Islam Bandung, sebagai medialomania.
Medialomania adalah penyakit doyan menjadi narasumber. Kecenderungan seperti
ini biasanya terdapat pada politisi atau aktivis yang masanya sudah lewat namun
tetap ingin berada di kancah politik.
Bagi
orang seperti ini, media adalah kendaraan politik. Ia mampu membangun relasi
dengan orang-orang internal media serta pandai membungkus peristiwa melalui
komentar-komentar atau aksi-aksi yang sesuai dengan selera wartawan. Meski tak
lagi signifikan bagi perkembangan kualitas politik, hubungan baiknya dengan
media membuat media atau wartawan tak memiliki banyak pilihan, selain alasan
bahwa wartawan malas mencari narasumber di lapangan.
Dan
masih menurut Bimo Nugroho, orang yang “gila” publisitas itu kerap memberi
fasilitas seperti konferensi pers hingga “amplop”. Ia memberikan dirinya
sebagai teman akrab yang mudah dicari oleh wartawan. Dan media, tanpa sadar,
telah terjebak menjadi media politik dari orang yang bersangkutan.
Sementara
itu, dalam diskusi yang sama, Direktur Utama Radio Mora Bandung, Monang
Siragih, mengatakan bahwa sinergi media dengan politik sebenarnya sah-sah saja.
Maksudnya, tak ada larangan bahwa sebuah menjadi media politik. Setiap media
membawa misi politiknya masing-masing. Yang utama adalah apakah tujuannya untuk
kebenaran dan kesejahteraan rakyat atau tidak.
Monang
Saragih berpendapat bahwa adalah hak setiap orang untuk berserikat dan
menyampaikan gagasan-gagasannya. Kebebasan sudah datang untuk setiap orang
dalam menyampaikan sikap politiknya. Dan tidak ada yang lebih baik dari media
dalam menyalurkan hasrat tersebut. Secara sederhana, pendapat ini memang benar.
Namun tatkala dipraktekkan, sulit baginya untuk keluar dari kepentingan diri
sendiri demi kepentingan publik. Dalam konteks media yang turut bermain dalam
politik praktis, Andreas Harsono, pendiri Majalah Pantau yang juga pembicara
dalam diskusi panel tersebut, segera membantahnya.
Menurutnya,
wartawan sebaiknya memisahkan diri dari dunia politik. Ia harus memilih antara
kedua ranah tersebut. Alasannya, keduanya memiliki fungsi dan idealisasi yang
berbeda. Keduanya tak dapat berjalan seiringan karena tak selamanya kepentingan
sebuah golongan politik menyuarakan kepentingan yang lebih besar atau nasional;
sementara media yang menjadi kendaraan politik beroperasi secara lebih besar.
Media
yang berpolitik bisa menyesatkan para pembaca, pendengar, atau pemirsa. Sebab,
pemilihan narasumber, pemilihan waktu atau ruang bagi suatu sosok atau
peristiwa, serta keseimbangan pelaporan atas suatu fakta akan menjadi bias
dengan sengaja. Yang menjadi lawan politik dari pemilik media dengan sendirinya
akan tereliminir. Cara pandang politisi dan wartawan terhadap informasi
berbeda.
J Pemasaran
politik
Pemasaran
politik bagi sebagian insan politik di Indonesia adalah hal baru. Dipicu oleh
gelombang reformasi, membuat keterbukaan dan keran politik terbuka lebar-lebar.
Pemasaran menjadi semakin penting ketika iklim persaingan mulai ada. Seperti
kita ketahui zaman orde baru praktis tidak ada persaingan karena semua
dikendalikan oleh Soeharto. Pemenang pemilu sudah ditentukan jauh sebelum
pelaksanaan pemilu.
Di
era reformasi semua orang bisa mendirikan partai dan persaingan antar partai
semakin terbuka dalam memperebutkan konstituen. Apalagi dengan adanya pemilihan
langsung presiden dan pilkada. Peran teori dan praktik pemasaran semakin
diperlukan oleh partai politik dan individu yang berkecimpung di dunia politik.
Pemasaran
selama ini sudah dikenal luas dan telah dipraktikkan dalam dunia industri.
Bagaimana produk dari suatu perusahaan di perkenalkan dan didistribusikan ke
konsumen, kemudian sebuah produk beri label merek lalu di positioningkan agar
memiliki citra yang berbeda dengan pesaingnya untuk memenangkan pasar, itu
semua dilakukan dengan menggunakan konsep pemasaran.
Lalu
apa konsep pemasaran bisa dipraktikkan dalam bidang politik? Secara filosofis, konsep
pemasaran bisa diaplikasikan di berbagai bidang termasuk di institusi
non-profit seperti partai politik (Brownlie and Saren, 1991; Kotler and Zaman,
1976). Secara umum tidak terdapat perbedaan antara marketing di industri dan
politik, kecuali dari sisi konteks subyek yang di pasarkan. Di industri, yang
dipasarkan lebih jelas yaitu produk dan jasa, sementara di politik yang
dipasarkan adalah orang beserta ide dan gagasan yang dia bawa.
Konsep
pemasaran klasik yang bisa di adopsi adalah konsep STP (segmentation,
targeting, and positioning). Segmentation adalah sudut pandang sebuah
partai/kandidat dalam memandang populasi pemilih untuk kemudian dibagi dalam
beberapa segmen pemilih. Targeting adalah menentukan segmen pemilih mana yang
akan kita sasar sebagai target utama. Sementara positioning adalah bagaimana
sebuah partai atau kandidat diposisikan di benak pemilih ketika dibandingkan
dengan pesaingnya.
Konsep
STP ini penting sebagai pedoman bagi sebuah partai/kandidat untuk menentukan
karakter pemilih seperti apa yang akan menjadi lumbung suara, sekaligus sebagai
bahan dasar penentuan program kampanye apa yang efektif dan efisien yang sesuai
dengan hasrat dan keinginan pemilih.
Contoh
menarik di lakukan oleh Partai Buruh di Inggris (Garet Smith, Andy Hirst,
2001). Mereka membagi pemilih menjadi tujuh segmen mulai dari pemilih yang
konservatif, nasionalis sampai dengan yang sosialis. Dari tujuh segmen itu
kemudian partai buruh melakukan profiling setiap segmen dan menentukan dua
segmen utama yang akan dijadikan sebagai target pemilih utama.
Selain
konsep STP, dalam konsep pemasaran kita mengenal konsep marketing mix yaitu 4P
(product, price, promotion, place). Di politik, kita bisa terjemahkan konsep 4P
tersebut sebagai berikut. Pertama adalah Product, produk yang kita jual harus
memiliki kualitas yang baik. Karena itu ide, gagasan, atau kandidat yang kita
jual ke konstituen juga harus berkualitas dan otentik.
Kedua
soal price. Dalam konteks pemasaran perusahaan, price adalah value yang
dibayarkan oleh konsumen dibanding manfaat yang diterima dari produk atau jasa
yang mereka terima. Di politik, price bukanlah monetary value, karena tidak ada
biaya yang dikeluarkan oleh konstituen ketika memilih partai atau kandidat
tertentu. Price di sini lebih ke arah emotional value yang diberikan oleh
konstituen kepada partai atau kandidat. Emotional value ini bisa berarti
personal risk, ketika seorang menentukan memilih partai tertentu dibanding
partai yang lain.
Ketiga,
promotion. Promosi dan komunikasi barangkali sudah banyak dipraktikkan didunia
politik. Ketika mendekati masa pemilu semua partai dan kandidat jor-joran
mengkomunikasikan calonnya ke konstituen. Partai atau kandidat yang berkantong
tebal lebih banyak menggunakan media TV dan media cetak untuk beriklan. Apakah
iklan itu efektif atau tidak dalam menjangkau konstituen, itu lain soal.
Keempat,
Place. Distribusi adalah kunci penting dalam pemasaran produk, ketersediaan
produk di berbagai channel (pasar modern dan tradisional) menjamin konsumen
dengan mudah menemukan produk kita. Lalu dalam konteks politik, siapa yang
disebut sebagai channel itu? Saya berpendapat bahwa seharusnya kantor wilayah,
cabang, anak cabang, dan ranting yang tersebar di berbagai wilayah perkotaan
sampai ke pedesaan itulah yang disebut sebagai channel. Sayangnya,
kantor-kantor partai itu tidak "hidup" sepanjang waktu, tapi hanya
ramai ketika menjelang pemilu saja.
Di
Indonesia sendiri kita melihat sekarang kebanyakan partai atau kandidat hanya
berkutat dengan pencitraan jangka pendek saja dan belum sampai pada menjabarkan
secara sistematis penyusunan konsep STP dan 4P partai atau kandidat tersebut.
Kebanyakan ujug-ujug langsung bikin program kampanye yang tidak terstruktur dan
terukur. Mereka terjebak pada unsur popularitas saja. Akibatnya, partai politik
atau kandidat tersebut terjebak popularitas sesaat dan miskin gagasan dan ide
untuk perbaikan masalah-masalah yang dihadapi masyarakat.
2.4. Pencitraan politik
capres-cawapres dalam upaya menumbuhkan citra positif dan opini public
menjelang Pileg 2014
Kampanye
politik adalah sebuah upaya pencitraan, baik oleh partai politik, calon
legislatif maupun calon presiden (capres) atau calon wakil presiden (cawapres).
Seperti halnya sebuah iklan produk, maka kampanye politik juga menawarkan
sesuatu yang bisa dijual pada diri kandidat atau parpol untuk dibeli oleh para
calon pemilih.
Sesuatu
yang dijual tentu menunjukkan nilai lebih, baik dari segi mutu maupun
penampilan. Sehingga di dalam dunia marketing, pada pandangan pertama bungkus
bisa sangat menentukan dibandingkan isi. Produk sehebat apa pun, dengan
kualitas tinggi sekalipun bisa tidak laku kalau pembungkusnya tidak menarik
atau berkesan tidak bisa dipercaya.
Pencitraan
bermakna memberikan citra atau gambaran – dalam hal ini tentu saja yang baik-baik.
Sebagai usaha untuk menarik hati para calon pemilih, para kandidat dan parpol
akan memanfaatkan segala hal yang bisa menumbuhkan pandangan positif pada diri
pemilih terhadap mereka, baik itu segi penampilan, gaya berbicara, kecerdasan
dalam mengungkapkan pikiran, maupun kegiatan atau hasil kerja yang sudah ada.
Kalau
seorang kandidat, capres misalnya, mempunyai semua hal yang bisa dijual,
misalnya berpenampilan meyakinkan, berotak cerdas, berbicara lugas dan jelas,
sekaligus menunjukkan hasil kerja yang baik, tentunya capres ini mempunyai
nilai penuh di mata calon pemilihnya.
Untuk
kandidat yang tidak memiliki “nilai lebih” yang dimiliki kandidat yang lain,
tidak lantas menghujat dengan alasan, misalnya, kandidat lain tersebut
mengandalkan sosok penampilan dan gaya yang di-jaim-jaim-kan. Kalau saya
menilai, pendapat tersebut dilatarbelakangi oleh prasangka dan kecemburuan,
sehingga berkesan “kekanak-kanakan” sekali.
Polling
Merupakan Upaya Pencitraan
Secara
tidak langsung, polling atau pengumpulan pendapat untuk pasangan
capres-cawapres merupakan upaya pencitraan. Di luar indepensi lembaga survei
yang melaksanakan survei, hasil survei bisa saja digolongkan dalam usaha
pencitraan capres dan cawapres.
Kapabilitas sebuah lembaga survei tentunya bisa dinilai oleh para
ahlinya, sedangkan masyarakat pada umumnya hanya bisa melihat dan menggunakan
hasil survei tersebut.
Kalau
ada tudingan bahwa sebuah lembaga survei merupakan “antek-antek” capres dan
cawapres tertentu, itu pasti murni merupakan tuduhan penuh prasangka, karena
secara ilmiah setiap lembaga survei bisa mempertanggungjawabkan pelaksanaan
serta hasil polling yang dikerjakannya.
Alhir-akhir
ini beberapa lembaga survei mengumumkan hasil polling pasangan capres-cawapres.
Dari angka-angka yang ditampilkan, tampak persentase yang lebih besar (lebih
dari 60%) mengarah pada satu pasangan calon. Pasangan calon yang merasa dirinya
memenangkan polling, sah-sah saja mengaku sebagai “pemenang polling”, lalu
berdasarkan hasil itu mengumumkan dirinya sebagai “calon pemenang” pemilu
presiden nanti dalam satu putaran saja. Seandainya pasangan tersebut tidak
memenangkan polling lebih dari 60% atau hanya memperoleh persentase seimbang
dengan pasangan lain, tentunya pengakuan tersebut menjadi “aneh” dan bisa dianggap
“tidak waras”.
Pengakuan
kemenangan dalam satu putaran pemilu presiden ini pun sebenarnya sebuah bentuk
pencitraan. Sama saja dengan pasangan lain yang mengaku kalau dia menjadi
presiden maka ekonomi Indonesia akan bebas dari pengaruh asing, atau tingkat
pertumbuhan ekonomi nasional akan sebesar 2 digit. Bukankah terdengar sama
“sombongnya”? Itulah pencitraan. Di dalam pencitraan ada kebutuhan sebuah
pengakuan akan kehormatan, martabat, kecerdasan, dan sebagainya yang ada pada
diri orang yang dicitrakan. Hal tersebut dimaksud agar dia mendapatkan
pengakuan dari masyarakat dan pengikutnya sehingga dirinya dipilih oleh rakyat
sebagai presiden dan wakil presiden.
Opini Publik Menjelang
Pileg 2014
Menjelang
Pemilu 2014 banyak lembaga survei merilis hasil opini publik soal peluang
capres dan cawapres lima tahun ke depan. Metodologi akademis sebagai alat ukur
dinilai tepat untuk mengetahui bagaimana tingkat popularitas figur tertentu dan
partai politik di mata masyarakat. Namun sayangnya, pemaparan hasil survei yang
kerap dirilis telah menjerumus kepada upaya penggiringan opini publik. "Ada
semacam hegemoni opini, bahwa figur tertentu adalah layak dan pasti menang,
serta figur lainnya tidak layak dan pasti kalah," ujar pengamat politik
Universitas Jayabaya, Igor Dirgantara kepada wartawan di Jakarta, Selasa
(24/12).
Menurutnya,
tidak ada satu pun lembaga survei di dalam rilisnya mau mengungkapkan asal
muasal dana yang digunakan untuk melakukan penelitian. Artinya, kata Igor,
kurangnya tranparansi lembaga survei terkait penerimaan dana survei masih
menjadi masalah utama dalam independensi hasil survei itu sendiri.
"Mereka
biasanya berlindung di balik prinsip anonimitasn di mana lembaga survei tidak
bisa memberitahu kepada publik jika sang pemberi dana tidak mau disebutkan
namanya. Hal ini mirip dengan profesi kedokteran yang melindungi kerahasiaan
pasiennya," jelas Igor. Dia menjelaskan, penggiringan opini publik melalui
hasil survei bisa dilakukan, mengingat adanya bandwagon effect atau pilihan dan
dukungan publik akan mengarah kepada figur-figur tertentu yang selalu menempati
posisi nomor satu dari hasil-hasil survei terakhir. Apalagi jika figur tersebut
sampai disebut 'manusia setengah dewa', 'ratu adil' atau bahkan 'nabi'.
"Ada
lembaga survei tertentu juga punya dua kaki. Kaki yang satu untuk melakukan
survei yang benar, dan kaki yang lainnya adalah untuk pendampingan atau
konsultan pemenangan. Dari sini sudah terlihat bahwa ada lembaga-lembaga survei
yang tidak mengedepankan independensi," ungkap dosen FISIP Universitas
Jayabaya itu.
Padahal,
lanjut Igor, pertarungan dalam kontestasi Pemilu 2014 lebih merupakan
pertarungan antara para elit politik di belakang layar, ketimbang hasil survei
semata. Dengan kata lain, manuver, strategi, dan pilihan elit-elit partai sering
lebih menentukan pasca Pemilu Legislatif atau jelang Pemilu Presiden yang akan
menembus batas atas sekat-sekat hasil survei.
"Para
elit partai sangat mungkin meluaskan dukungannya lewat praktek money politic,
misalnya. Biasanya manuver elit politik ini sangat fleksibel, terbuka, dan
variatif tergantung kebutuhan dan kepentingannnya," beber Igor.
BAB
III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Pencitraan
bermakna memberikan citra atau gambaran – dalam hal ini tentu saja yang
baik-baik. Sebagai usaha untuk menarik hati para calon pemilih, para kandidat
dan parpol akan memanfaatkan segala hal yang bisa menumbuhkan pandangan positif
pada diri pemilih terhadap mereka, baik itu segi penampilan, gaya berbicara,
kecerdasan dalam mengungkapkan pikiran, maupun kegiatan atau hasil kerja yang
sudah ada.
Kalau seorang kandidat,
capres misalnya, mempunyai semua hal yang bisa dijual, misalnya berpenampilan
meyakinkan, berotak cerdas, berbicara lugas dan jelas, sekaligus menunjukkan
hasil kerja yang baik, tentunya capres ini mempunyai nilai penuh di mata calon
pemilihnya.
3.2. Saran
Menjelang
Pemilu 2014 banyak lembaga survei merilis hasil opini publik soal peluang
capres dan cawapres lima tahun ke depan. Metodologi akademis sebagai alat ukur
dinilai tepat untuk mengetahui bagaimana tingkat popularitas figur tertentu dan
partai politik di mata masyarakat.
DAFTAR
PUSTAKA
http://senaru.wordpress.com/2009/06/07/ilmu-komunikasi